Kamis, 13 Januari 2011

di susun oleh


M.IHSAN


ASKEP ISPA
Ditulis pada Oktober 24, 2007 oleh iwansain
• Common Cold
• Sinusitis
• Rhinitis
• Faringitis
• Tonsilitis/adenoiditis

Common cold
Pengertian
Adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan gejala-gejala infeksi saluran napas atas.

Etiologi
Pikornavirus, koronavirus, miksovirus, paravirus, adenoviris dan rhinovirus

Manifestasi Klnik
Kongesti nasal, sakit tenggorok, bersin-bersin, malaise, demam, menggigil, dan sering sakit kepala serta sakit otot, kadang-kadang ada batuk.
Gejala berlangsung 5 – 14 hari

Terapi Medik
• Pemberian cairan yang adekuat
• Istirahat
• Pencegahan menggigil
• Dekongestan nasal aqueous
• Vitamin C
• Ekspectoran sesuai kebutuhan
• Kumur air garam hangat dapat mengurangi nyeri tenggorok
• Aspirin/asetaminofen

Intervensi Keperawatan
Pendidikan Pasien
• Mencuci tangan –> mencegah penyebaran organisme
• Menggunkan kertas tissue sekali pakai dan membuangnya dengan baik
• Menutup mulut ketika batuk
• Menghindri kerumunan orang banyak

SINUSITIS
SINISTIS adalah peradangan membran mukosa dari satu atau lebih sinus maksillaris, frontal, etmoidalis atau sfenoidalis.


SINUSITIS AKUT
Etiologi penyakit oleh streptococcus pneumoniae, haemophilus influensae, staphilococcus aureus.

Gejala
Nyeri diatas area sinus, sekresi nasal yang purulen

Patofisiologi
Kongesti nasal oleh inflamasi –> obstruksi rongga sinus –> Kondisi ini merupakan media pertumbuhan bakteri.


Terapi Medis
Tujuan : mengontrol infeksi, memulihkan kondisi mukosa nasal dan menghilangkan nyeri.
• Pemberian antibiotik (pilihan) seperti amoksisillin dan ampisillin.
• Pemberian dekongestan oral (drixoral dan dimetapp) atau topikal (afrin dan otrivin)

Intervensi Keperawatan
Penddikan pasien
• Tingkatkan masukan cairan
• Lakukan kompres hangat setempat
• Ajarkan metode untuk meningkatkan drainase seperti mandi uap, mandi hangat, sauna fasial.
• Informasikan tentang efek samping sprey hidung seperti kongesti rebound
• Ajarkan cara pencegahan infeksi sinusitis


SINUSITIS KRONIK
Penyebab –> obstruksi hidung kronik akibat rabas dan edema mukosa hidung.

Gejala
Batuk, sakit kepala kronis pada daerah periorbital dan nyeri wajah (paling menonjol saat bangun tidur pd pagi hari)

Terapi Medis
• Sama dengan pengobatan sinusitis akut
• Pembedahan untuk memperbaiki deformitas struktural yang menyumbat ostia (ostium sinus)

Intervensi Keperawatan
Pendidikan pasien
• Drainase sinus (mandi uap dll)
• Meningkatkan masukan cairan
• Memasang penghagat lokal (kantung panas basah)
• Jelaskan tanda dini infeksi sinus

RHINITIS
Pengertian
• Inflamasi membran mukosa hidung yang dikelompokkan rhinitis allergik dan non allergik
• Rhinitis allergik –> mungkin suatu tanda dari allergi
• Rhinitis non allergik disebabkan oleh : infeksi saluran napas (rhinitis viral dan rhinitis bakterial, masuknya benda asing kedalam hidung, deformitas struktural, neoplasma, dan massa, penggunaan kronik dekongestan nasal, penggunaan kontrasepsi oral, kokain dan anti hipertensif

Gejala
• Kongesti nasal, rabas nasal (purulent dengan rhinitis bakterialis), gatal pada nasal, bersin-bersin, sakit kepala

Terapi Medik
• Tergantung penyebabnya (Allergik atau non allergik)
• Pemberian antihistamin
• Dekongestan
• Kortikosteroid topikal
• Natrium kromolin

Intervensi keperawatan
Pendidikan Pasien
• Instruksikan pasien yang allergik untuk menghindari allergen atau iritan spt (debu, asap tembakau, asap, bau, tepung, sprei
• Sejukkan membran mukosa dengan menggunakan sprey nasal salin.
• Melunakkan sekresi yang mengering dan menghiangkan iritan.
• Ajarkan tekhnik penggunaan obat-obatan spt sprei dan serosol.
• Anjurkan menghembuskan hidung sebelum pemberian obat apapun thd hidung

FARINGITIS
Faringitis Akut –> inflamasi febris tenggorok yang disebabkan oleh virus (70%) dan bakterial (streptokokkus group A 30 %)

Gejala
• Membran mukosa sangat merah
• Tonsil kemerahan
• Folikel limfoid membengkak dan dipenuhi eksudat
• Pembesaran dan nyeri tekan pada nodus limfe servikalis
• Demam, malaise, sakit tenggorok, serak, batuk, dan rhinitis

Patofisiologi
• Infeksi virus hilang dalam 3 – 10 hari
• Komplikasi  mastoiditis, sinusitis, otitis media, abses peritonsilar, adenitis servikal, demam reumatik dan nefritis


Terapi Medik
• Bila penyebabnya bakterial maka pemberian agen bakterial (penisilin) diberikan selama 10 hari
• Berikan diet cair dan lunak
• Anjurkan banyak minum (2-3 L/hari)

Intervensi Keperawatan
Pendidikan Kesehatan
• Istirahat ditempat tidur selama fase febris penyakit
• Buang tissu secara benar seteah digunakan (mencegah penyebaran infeksi)
• Kumur salin hangat (40,6 oC – 43,3 o C)
• Irigasi pd tenggorok  mengurangi spasme pd tenggorok
• Kolaborasi pmberian analgesik
• Pemberian antitusif (kodein, dekstrometrofan)
• Lakukan perawatan mulut
• Jelaskan tentang pentingnya terapi antibiotik secara tuntas

Faringitis Kronik –> terjadi pada individu dewasa yang bekerja atau tinggal dalam lingkungan berdebu, menggunakan suara berlebihan, menderita akibat batuk kronis, dan penggunaan habitual alkohol dan tembakau

Jenis
• Hipertrofik –> penebalan umum dan kongesti membran mukosa faring
• Atrofik –> tahap lanjut dari jenis pertama (membran tipis, licin, keputihan, berkerut)
• Granular kronik  pembengkakan folikel limfe pada dinding faring

Gejala
• Keluhan sensasi iritasi dan sesak pada tenggorok yg terus menerus, lendir pada tenggorok, adanya kesulitan menelan

Terapi Medik
• Berikan sprei nasal atau obat-obatan yang mengandung epinefrin sulfat (afrin) atau fenilefrin hidroklorida
• Bila tdp allergi, berikan dekongestan anthistamin
• Berikan aspirin atau asetaminofen
• Hindari kontak dengan orang lain

Intervensi Keperawatan
Pendidikan kesehatan
• Hindarkan kontak dengan orang lain sampai demam benar-benar menghilang.
• Hindari penggunaan alkohol, tembakau, asap rokok dan pemajanan thd dingin
• Hindari polutan lingkungan dengan menggunkan masker
• Anjurkan untuk memperbanyak minum
• Anjurkan berkumur dengan larutan salin normal

Tonsilitis
• Peradangan tonsil
• Penyebab umum adalah streptokokkus grup A
• Gejala : sakit leher, nyeri menelan, menggigi, demam, dan sakit otot.
• Biakan tenggorok harus dilakukan untuk menentukan penyebab
• Terapi : meningkatkan jumlah cairan yang masuk ; obat kumur salin ; pemberian antibiotik

LARINGITIS
• Inflamasi pada laring
• Penyebab : terlalu banyak menggunakan suara, pemajanan thd debu, bahan kimiawi, asap, infeksi saluran napas atas ; hampir selalu disebabkan oleh virus
• Gejala –> akut : suara serak atau tidak dpt mengeluarkan suara, batuk berat. Kronik  suara serak yang persisten
• Terapi medik –> akut : istirahat berbicara, hindari merokok, istirahat ditempat tidur, menghirup uap dingin atau aerosol. bila Kronik: istirahatkan suara, hilangkan infeksi pernapasan yg ada (primer), batasi merokok, penggunaan kortikosteroid topikal
• Intervensi keperawatan: Instruksikan pasien mengistirahatkan suara dan memepertahankan kelebaban lingkungan, sarankan penggunaan ekspektoran bila ada sekresi laringeal, berikan cairan ( 3 Liter) untuk mengencerkan sekresi

References
Brunner & Suddart, 2000, Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta
Corwin E, Patofisiologi (buku Saku), EGC, Jakarta
DIarsipkan di bawah: Pernafasan | yang berkaitan: Keperawatan, kesehatan, Penyakit, Pernafasan
«

satuan administrasi pembelajaran

SATUAN ADMINISTRASI PERKULIAHAN
SARAF KRANIAL



DI SUSUN OLEH
M. IHSAN
NIM : S.09.015



PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM
PONTIANAK
2009-2010



SATUAN ADMINISTRASI PERKULIAHAN

Nama Program Studi : S1 Keperawatan STIKES YARSI Pontianak
Semester : 2 ( Dua )
Mata Kuliah : PERSARAFAN
Kode Mata Kuliah : -
Bobot SKS : 3 SKS ( 2 SKS Teori dan 1 SKS Praktikum )
Materi : SARAF KRANIAL
Waktu Pertemuan :15 Menit
Pertemuan Ke : 3

A. Tujuan Instruksional
1. Umum
Setelah menyelesaikan pokok bahasan ini selama 15 menit , mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang saraf kranial
2. Khusus
Setelah menyelesaikan kegiatan perkuliahan ini selama 15 menit, mahasiswa mampu :
a. Menjelaskan pengertian saraf cranial
b. Bagian-bagian saraf kranial
c. Komponen saraf kranial dan fungsinya
B. Pokok Bahasan
Penjelasan tentang saraf kranial

C. Sub Pokok Bahasan
1. Pengertian saraf kranial
2. Bagian-bagian saraf kranial
3. Komponen saraf kranial dan fungsinya








D. Materi terlampir
Saraf-saraf kranial merupakan saraf yang datang dari batang otak. Jumlah saraf ini ada dua belas.

E. Kegiatan belajar mengajar
Tahap Kegiatan Pengajar Kegiatan Mahasiswa Media Waktu
Pendahuluan 1. Salam

2. Apersepsi






3. Menyampaikan cakupan materi yang akan disampaikan


4. Menyampaikan tujuan instruksioanal khusus pembelajaran 1. Menjawab salam

2. Menjawab /menyampaikan pengetahuannya tentang metri yang telah disampaikan


3. Memperhatikan




4. Memperhatikan





TOA, Laptop, Infocus.





3Menit.
Penyajian 1. Menjelaskan pengertian saraf kranial


2. Menjelaskan komponen komponen saraf kranial beserta fungsinya

3.Memberikan kepada mahasiswa untuk bertanya 1. Menyimak dan mengajukan pertanyaan



2. Menyimak dan mengajukan pertanyaan




3. Menyimak dan mengajukan pertanyaan






TOA, Laptop, Infocus,gambar




10
Menit
Penutup 1. Bertanya kepada beberapa mahasiswa tentang materi yang dijelaskan
2. Meminta salah satu mahasiswa untuk menyimpulkan materi yang telah disampaikan

3. Memberi gambaran umum tentang materi kuliah pada pertemuan berikutnya

4. Memberikan evaluasi berupa tugas post-test tentang materi yang telah disampaikan 1. Menjawab






2. Menyimpulkan materi kuliah yang baru disampaikan







3. Memperhatikan







4. Menyelesaikan tugas post-test yang diberikan













TOA, Laptop, Infocus











2Menit

F. Evaluasi
1. Instrument yang digunakan adalah : evaluasi secara lisan
2. Soal :
a. Jelaskan apa itu saraf kranial?
b. Sebutkan 2 bagian saraf kranial ?
c. Sebutkan 2 komponen saraf kranial dan fungsinya ?

G. Referensi
Barr, M.L. The Human Nervous System, Edisi ke-3 Harper International Edition. 1979
Bowsher, D. Pengantar Kepala Ilmu Urai dan Faal Susunan Saraf. Terjemahan dari: Introduction to the Anatomy and Physiology of the Nervous System. Oleh Karnoto Mohamad dan Pruguna Sidharta. P.T. Dian Rakyat. Jakarta. 1974.
Brodal, A. Neurological Anatomy. Oxford University Press. London. 1969
Pontianak, 09 Juni 2010
Pengajar,


( M. IHSAN)
NIM : S.09.015

askep hemophilia

Akpek anak dengan hemofilia




DI SUSUN OLEH
M.IHSAN











PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM
PONTIANAK
2010-201
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata hemofilia pertama kali muncul pada sebuah tulisan yang ditulis oleh Hopff di Universitas Zurich, tahun 1828. Dan menurut ensiklopedia Britanica, istilah hemofilia (haemophilia) pertama kali diperkenalkan oleh seorang dokter berkebangsaan Jerman, Johann Lukas Schonlein (1793 - 1864), pada tahun 1928.
Pada abad ke 20, pada dokter terus mencari penyebab timbulnya hemofilia. Hingga mereka percaya bahwa pembuluh darah dari penderita hemofilia mudah pecah. Kemudian pada tahun 1937, dua orang dokter dari Havard, Patek dan Taylor, menemukan pemecahan masalah pada pembekuan darah, yaitu dengan menambahkan suatu zat yang diambil dari plasma dalam darah. Zat tersebut disebut dengan "anti - hemophilic globulin". Di tahun 1944, Pavlosky, seorang dokter dari Buenos Aires, Argentina, mengerjakan suatu uji coba laboratorium yang hasilnya memperlihatkan bahwa darah dari seorang penderita hemofilia dapat mengatasi masalah pembekuan darah pada penderita hemofilia lainnya dan sebaliknya. Ia secara kebetulan telah menemukan dua jenis penderita hemofilia dengan masing - masing kekurangan zat protein yang berbeda - Faktor VIII dan Faktor IX. Dan hal ini di tahun 1952, menjadikan hemofilia A dan hemofilia B sebagai dua jenis penyakit yang berbeda. Meskipun hemofilia telah lama dikenal di dalam kepustakaan kedokteran, tetapi di Jakarta baru tahun 1965 diagnosis laboratorik diperkenalkan oleh Kho Lien Keng dengan Thromboplastin Generation Time (TGT) di samping prosedur masa perdarahan dan masa pembekuan. Pengobatan yang tersedia di rumah sakit hanya darah segar, sedangkan produksi Cryoprecipitate yang dipakai sebagai terapi utama hemofilia di Jakarta, diperkenalkan oleh Masri Rustam pada tahun 1975.
Di antara 183 pasien hemofilia yang terdaftar di RSCM, 100 pasien telah diperiksa aktivitas faktor VIII dan IX. Hasilnya menunjukkan 93 orang adalah hemofilia A dan 7 pasien adalah hemofilia B. Sebagian besar pasien hemofilia A mendapat cryoprecipitate untuk terapi pengganti, dan pada tahun 2000 konsumsi cryoprecipitate mencapai 40.000 kantong yang setara dengan kira-kira 2 juta unit faktor VIII.
Pada saat ini Tim Pelayanan Terpadu juga mempunyai komunikasi yang baik dengan Tim Hemofilia dari negara lain. Pada Hari Hemofilia Sedunia tahun 2002, Pusat Pelayanan Terpadu Hemofilia RSCM telah ditetapkan sebagai Pusat Pelayanan Terpadu Hemofilia Nasional.
Pada tahun 2002 pasien hemofilia yang telah terdaftar di seluruh Indonesia mencapai 757, diantaranya 233 terdaftar di Jakarta, 144 di Sumatera Utara, 92 di Jawa Timur, 86 di Jawa Tengah dan sisanya tersebar dari Nanggroe Aceh Darussalam sampai Papua.

B. Tujuan Penulisan
a. Memahami pengertian, penyebab, jenis, perjalanan penyakit, serta tanda dan gejala yang muncul pada penyakit hemofilia.
b. Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada pasien hemofilia dan berbagai penatalaksanaannya.
c. Asuhan keperawatan









C. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini penulis menggunakan metode deskriptif yaitu dengan mengumpulkan dan membaca bahan literatur yang ada di perpustakaan dan media internet , dirangkum menjadi sebuh makalah.

D. Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan, yang berisikan latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan
BAB II : Landasan Teori, Anatomi Fisiologi, Konsep Dasar Penyakit, Konsep Asuhan Keperawatan dan Perawatan Kesehatan
BAB III : Penutup, yang berisikan kesimpulan dan saran
DAFTAR PUSTAKA



















BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian
Darah merupakan cairan ekstraseluler yang terletak dalam saluran yakni pembuluh darah, yang terdiri atas pembuluh darah dan sel darah. Darah memiliki fungsi pertama, sebagai transportasi pernapasan, dimana sebagian besar oksigen diangkat oleh eritrosit dari alveoli ke organ atau jaringan tubuh, dan karbondioksida diangkut oleh jaringan oleh plasma darah menuju alveoli paru. Fungsi kedua, sebagai transportasi zat makanan, mineral, vitamin, elektrolit, dan air dari gastrointestinal menuju hati melalui proses metabolisme, baru kemudian ke organ atau jaringan tubuh lain. Funsi ketiga, teransport metabolit atau hasil sisa yakni zat yang tidak digunakan dikirim ke ginjal untukselanjutnya dikeluarkan melalui urine. Fungsi keempat, sebagai transportasi hasil suatu jaringan atau organ seperti hormon yang dihasilkan oleh kelenjar akan diangkut oleh darah. Demikian juga hasil metabolisme di hati diangkut oleh plasma menuju ke organ yang membutuhkan. Fungsi kelima, sebagai pembentuk antibodi yang dilakukan oleh plasma sel dan limfosit, leukosit yang berperan dalam fagositosis. Fungsi keenam, berperan alam mempertahankan keseimbangan asam dan basa, juga sebagai transportasi bahan-bahan yang diberikan melalui cairan yang lewat aliran darah. Dan fungsi ketujuh, sebagai hemostasis yang terletak pada plasma darah. Proses hemostasis ini merupakan upaya untuk mempertahankan hilangnya darah akibat kerusakan pembuluh darah atau pecah. Proses homeostasis melalui berbagai tahap, yakni tahap vascular, koagulasi, serta pembersihan dan rekonstruksi.
1. Tahap vascular
Tahap ini merupakan tahap awal dari kerusakan pembuluh darah, dapat terjadi vasokontriksi lokal dan retraksi, kemudian trombosit akan mengadakan agregasi, aglutinasi berperan atau akan lisis dan mengeluarkan bahan untuk proses homeostasis seperti serotonin. Kemudian, rusaknya pembuluh darah menyebabkan masuknya tromboplastin jaringan yang dapat mempercepat proses koagulasi. Demikian juga darah yang rusak di sekitar akan membantu mengurangi pendarahan yang selanjutnya.
2. Tahap koagulasi
Pada tahap koagulasi,faktor pembekuan dan zat yang menghambat koagulasi atau antikoagulan berperan dan terjadi keseimbangan. Proses koagulasi terdiri atas tiga tahap. Diawali dengan proses pembentukan aktifator protrombin, perubahan protrombin menjadi trombin. Dan perubahan fibrinogen menjadi fibrin
3. Tahap pembersihan dan rekonstruksi.
Merupakan tahap akhir dalam proses hemostasis berupa proses fibrinolisis dan pembentukan jaringan baru pada jaringan yang mengalami kerusakan.
(Hidayat, 2006)
4. Mekanisme Pembekuan
Bahan yang turut serta dalam mekanisme pembekuan factor pembekuan dan diberi nama dengan angka romawi I sampai XIII, kecuali V. factor-faktor tersebut ialah faktor I (fibrinogen), II (protrombin), III (tromboplastin), IV (kalsium dalam bentuk ion), V (proaseleran, factor labil), VII (prokonverin, faktor stabil), VIII (AHG = Antihemophilic Globulin), IX (PTC = Plasma Thromboplastin Antecedent), XII (hageman), dan XIII (faktor stabilitas febrin). Mekanisme pembekuan dibagi menjadi dalam 3 tahap dasar yaitu :
a. Pembentukan tromboplastin plasma intrinsik yang juga disebut tromboplastogenesis, dimulai dengan trombosit, terutama faktor trombosit III dan faktor pembekuan lain dengan pembentukan kolagen. Faktor pembekuan tersebut adalah faktor IV, V, VIII, IX, X, XI, XII kemudian faktor III dan VII.
b. Perubahan protombin menjadi trombin yang dikatalisasi oleh tromboplastin, faktor IV, V, VII dan X.
c. Perubahan fibrinogen menjadi fibrin dengan katalisator trombin, faktor trombosit I dan II.Hemostatis yang baik berlangsung dalam batas waktu tertentu sehingga tidak hanya terbentuk tromboplastin, trombin dan fibrin saja yang penting, tetapi juga lama pembentukan masing-masing zat. Secara keseluruhan, mekanisme pembentukan mempunyai 2 fenomena dasar untuk jangka waktu berlangsungnya proses tersebut, yaitu tahap permulaan yang lambat disusul tahap autokatalitik yang sangat cepat. Trombin memegang peranan yang penting pada tahap yang cepat, di samping itu trombin menyebabkan trombosit menjadi lebih sehingga mudah melepaskan faktor trombosit dan meninggikan aktivitas tromboplasmin (Ngastiyah, 2005).
5. Mekanisme Fibrinolitik
Sistem fibrinolitik merupakan rangkaian yang fibrinnya dipecahkan oleh plasmin (fibrinolisin) menjadi produk-produk degradasi fibrin, menyebabkan hancurnya bekuan. Diperlukan beberapa interaksi untuk mengubah protein plasma spesifik inaktif di dalam sirkulasi menjadi enzim fibrinolitik plasmin aktif. Protein dalam bersikulasi (proaktivator plasminogen), dengan adanya enzim-enzim kinase seperti streptokinase, stafilokinase, kinase jaringan, serta faktor VIIa, dikatalisasi menjadi aktivator plasminogen. Dengan adanya enzim-enzim tambahan, seperti urokinase, maka aktivator-aktivator mengubah palsminogen, suatu protein plasma yang sudah bergabung dalam bekuan fibrin, menjadi plasmin. Kemudian plasmin memecahkan fibrin dan fibrinogen menjadi fragmen-fragmen (produk degradasi fibrin/ fibrinogen) yang mengganggu aktivitas trombin, fungsi trombosit, dan polimerisasi fibrin, menyebabkan hancurnya bekuan.
Dalam keadaan normal sistem fibrinolitik darah memegang peranan penting untuk mempertahankan sistem pembuluh darah bebas dari gumpalan fibrin, dan merupakan pelengkap sistem pembekuan

B. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi
Hemofilia berasal dari bahasa yunani kuno, yang terdiri dari dua kata yaitu haima yang berarti darah dan philia yang berarti cinta atau kasih sayang.
Hemophilia adalah suatu penyakit yang diturunkan, yang artinya diturunkan dari ibu kepada anaknya pada saat anak tersebut dilahirkan.
Hemofilia adalah gangguan perdarahan bersifat herediter yang berkaitan dengan defisiensi atau kelainan biologik faktor VIII (antihemophilic globulin) dan faktor IX (komponen tromboplastin plasma). (David Ovedoff,2002).
Hemofilia adalah penyakit gangguan pembekuan darah yang diturunkan melalui kromosom X. Karena itu, penyakit ini lebih banyak terjadi pada pria karena mereka hanya mempunyai kromosom X, sedangkan wanita umumnya menjadi pembawa sifat saja (carrier). Namun, wanita juga bisa menderita hemofilia jika mendapatkan kromosom X dari ayah hemofilia dan ibu pembawa carrier dan bersifat letal. (David Ovedoff, 2002).

2. Etiologi
Hemofilia A timbul jika ada defek gen yang menyebabkan kurangnya faktor pembekuan VIII (AHG). Hemofilia B disebabkan kurangnya faktor pembekuan IX (Plasma Tromboplastic Antecendent) ( doenges, marillyn E :1999 )
Hemofilia berdasarkan etiologinya di bagi menjadi dua jenis:
a. Hemofilia A Hemofilia A dikenal juga dengan nama Hemofilia Klasik : karena jenis hemofilia ini adalah yang paling banyak kekurangan faktor pembekuan pada darah. Kekurangan faktor VIII protein pada darah yang menyebabkan masalah pada proses pembekuan darah.
b. Hemofilia B Hemofilia B dikenal juga dengan nama Chrismasi disease : karena ditemukan untuk pertama kalinya pada seorang bernama Steven Chrismas asal kanada.
Hemofilia ini di sebabkan karena kurangnya faktor pembekuan IX . dapat muncul dengan bentuk yang sama dengan tipe A. Gejala ke dua tipe hemofilia adalah sama, namun yang membedakan tipe A / B adalah dari pengukuran waktu tromboplastin partial deferensial. Hemophilia A atau Hemofilia B adalah suatu penyakit yang jarang ditemukan, hemophilia A terjadi sekurang – kurangnya 1 di antara 10.000 orang, Hemofilia B lebih jarang ditemukan , yaitu 1 di antara 50.000 orang.
Dapat muncul dengan bentuk ringan, berat, dan sedang.
1) Berat (kadar faktor VIII atau IX kurang dari 1%
2) Sedang (faktor VIII/IX antara 1%-5%) dan
3) Ringan (faktor VIII/X antara 5%-30%).
3. Patofisiologi
Perdarahan karena gangguan pada pembekuan biasanya terjadi pada jaringan yang letaknya dalam seperti otot, sendi, dan lainya yang dapat terjadi kerena gangguan pada tahap pertama, kedua dan ketiga, disini hanya akan di bahas gangguan pada tahap pertama, dimana tahap pertama tersebutlah yang merupakan gangguan mekanisme pembekuan yang terdapat pada hemofili A dan B. Perdarahan mudah terjadi pada hemofilia, dikarenakan adanya gangguan pembekuan, di awali ketika seseorang berusia ± 3 bulan atau saat – saat akan mulai merangkak maka akan terjadi perdarahan awal akibat cedera ringan, dilanjutkan dengan keluhan-keluhan berikutnya. Hemofilia juga dapat menyebabkan perdarahan serebral, dan berakibat fatal. Rasionalnya adalah ketika mengalami perdarahan, berarti terjadi luka pada pembuluh darah (yaitu saluran tempat darah mengalir keseluruh tubuh) → darah keluar dari pembuluh. Pembuluh darah mengerut/ mengecil → Keping darah (trombosit) akan menutup luka pada pembuluh→Kekurangan jumlah factor pembeku darah tertentu, mengakibatkan anyaman penutup luka tidak terbentuk sempurna→darah tidak berhenti mengalir keluar pembuluh → perdarahan (normalnya: Faktor-faktor pembeku darah bekerja membuat anyaman (benang - benang fibrin) yang akan menutup luka sehingga darah berhenti mengalir keluar pembuluh).(sumber :ovedoff, david.2002)
4. Diagnosa
Jika seorang bayi / anak laki-laki mengalami perdarahan yang tidak biasa, maka diduga dia menderita hemofilia. Pemeriksaan darah bisa menemukan adanya perlambatan dalam proses pembekuan. Jika terjadi perlambatan, maka untuk memperkuat diagnosis serta menentukan jenis dan beratnya, dilakukan pemeriksan atas aktivitas faktor VII dan faktor IX. (David Ovedoff, 2002).
5. Kompikasi
(David Ovedoff, 2002).
a. Timbulnya inhibitor.
Inhibitor adalah cara tubuh untuk melawan apa yang dilihatnya sebagai benda asing yang masuk . Hal ini berarti segera setelah konsentrat faktor diberikan tubuh akan melawan dan akan menghilangkannya.Suatu inhibitor terjadi jika sistem kekebalan tubuh melihat konsentrat faktor VIII atau faktor IX sebagai benda asing dan menghancurkannya. Pada penderita hemofilia dengan inhibitor terhadap konsentrat faktor, reaksi penolaksan mulai terjadi segera setelah darah diinfuskaan. Ini berarti konsentrat faktor dihancurkan sebelum ia dapat menghentikan pedarahan.
b. Kerusakan sendi akibat perdarahan berulang.
Kerusakan sendi adalah kerusakan yang disebabkan oleh perdarahan berulang di dalam dan di sekitar rongga sendi. Kerusakan yang menetap dapat disebabkan oleh satu kali perdarahan yang berat (hemarthrosis). Namun secara normal, kerusakan merupakan akibat dari perdarahan berulang ulang pada sendi yang sama selama beberapa tahun. Makin sering perdarahan dan makin banyak perdarahan makin besar kerusakan.
1) Sendi yang paling sering rusak adalah sendi engsel seperti :
2) Pergelangan kaki
3) Lutut
4) Siku
Sendi engsel ini hanya mempunyai sedikit perlindungan terhadap tekanan dari samping. Akibatnya sering terjadi perdarahan. Sendi peluru yang mempunyai penunjang lebih baik, jarang terjadi perdarahan seperti :
1) Panggul
2) Bahu
Sendi pada pergelangan tangan, tangan dan kaki kadang – kadang mengalami perdarahan. Namun jarang menimbulkan kerusakan sendi.
c. Infeksi yang ditularkan oleh darah
Dalam 20 tahun terakhir, komplikasi hemofilia yang paling serius adalah infeksi yang ditularkan oleh darah. Di seluruh dunia banyak penderita hemofilia yang tertular HIV, hepatitis B dan hepatitis C. Mereka terkena infeksi ini dari plasma, cryopresipitat dan khususnya dari konsentrat factor yang dianggap akan membuat hidup mereka normal (Betz & Sowden, 2002).


6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Uji skrining untuk koagulasi darah
1) Jumlah trombosit (normal 150.000-450.000 tombosit per mm3 darah)
2) masa protombin (normal memerlukan waktu 11-13 detik)
3) Masa tromboplastin parsial (meningkat, mengukur keadekuatan faktor koagulasi intrinsik)
4) Assays fungsional terhadap faktor VIII dan IX (memastikan diagnosis)
5) Masa pembekuan trombin (normalnya 10-13 detik)
b. Biopsi hati (kadang-kadang) digunakan untuk memperoleh jaringan untuk pemeriksaan patologi dan kultur.
c. Uji fungsi faal hati (kadang-kadang) digunakan untuk mendeteksi adanya penyakit hati (misalnya, serum glutamic-piruvic transaminase [SPGT], serum glutamic-oxaloacetic transaminase [SGOT], fosfatase alkali, bilirubin).
(Betz & Sowden, 2002).
7.Penatalaksanaana (menurut : (David Ovedoff, 2002)
a. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan yang diberikan untuk mengganti factor VIII atau faktot IX yang tidak ada pada hemofilia A diberikan infus kriopresipitas yang mengandung 8 sampai 100 unit faktor VIII setiap kantongnya. Karena waktu paruh faktor VIII adalah 12 jam sampai pendarahan berhenti dan keadaan menjadi stabil. Pada defisiensi faktor IX memiliki waktu paruh 24 jam, maka diberikan terapi pengganti dengan menggunakan plasma atau konsentrat factor IX yang diberikan setiap hari sampai perdarahan berhenti. Penghambat antibody yang ditunjukkan untuk melawan faktor pembekuan tertentu timbul pada 5% sampai 10% penderita defisiensi faktor VIII dan lebih jarang pada faktor IX infase selanjutnya dari faktor tersebut membentuk anti bodi lebih banyak. Agen-agen imunosupresif, plasma resesif untuk membuang inhibitor dan kompleks protombin yang memotong faktor VIII dan faktor IX yang terdapat dalam plasma beku segar. Produk sintetik yang baru yaitu: DDAVP (1-deamino 8-Dargirin vasopressin) sudah tersedia untuk menangani penderita hemofilia sedang. Pemberiannya secara intravena (IV), dapat merangsang aktivitas faktor VIII sebanyak tiga kali sampai enam kali lipat. Karena DDAVP merupakan produk sintetik maka resiko transmisi virus yang merugikan dapat terhindari.
Hematosis bisa dikontrol jika klien diberi AHF pada awal perdarahan. Immobilisasi sendi dan udara dingin (seperti kantong es yang mengelilingi sendi) bisa memberi pertolongan. Jika terjadi nyeri maka sangat penting untuk mengakspirasi darah dan sendi. Ketika perdarahan berhenti dan kemerahan mu;ai menghilang klien harus aktif dalam melakukan gerakan tanpa berat badan untuk mencegah komplikasi seperti deformitas dan atrofi otot.
Prognosis untuk seorang yang menderita hemofilia semakin bertambah baik ketika ditemukannya AHF. 50% dari penderita hemofilia meninggal sebelum mencapai umur 5 tahun. Pada saat ini kejadian kematian jarang terjadi setelah trauma minor. Infusi di rumah menggunakan AHF meyakinkan pengobatan bahwa manifestasi pertama dari perdarahan dan komplikasi diatasi. Program training dengan panduan yang ketat. Ketika panduan ini diikuti dengan baik seseorang yang menderita hemofili akan sangat jarang berkunjung ke ruang imergensi.
Analgesik dan kortikosteroid dapat mengurangi nyeri sendi dan kemerahan pada hemofilia ringan pengguna hemopresin intra vena mungkin tidak diperlukan untuk AHF. sistem pembekuan darah yang sifatnya hanya sementara, sehingga tidak perlu dilakukan transfusi. Biasanya pengobatan meliputi transfuse untuk menggantikan kekurangan faktor pembekuan. Faktor-faktor ini ditemukan di dalam plasma dan dalam jumlah yang lebih besar ditemukan dalam plasma konsentrat.
Tranfusi untuk perdarahan dan gunakan kriopresipitat faktor VIII dan IX, tranfusi di lakukan dengan teknik virisidal yang di ketahui efektif membunuh virus-virus yang dapat menyebabkan infeksi lain akibat tranfusi, dan di sebut sebagai standar terbaru tatalaksana hemofilia yaitu FVIII rekombinan sehingga dapat menghilangkan resiko tertular virus. Aspirasi hemartosis dan hindari imobilitas sendi Konsultasi genetic
Beberapa penderita membentuk antibodi terhadap faktor VIII dan faktor IX yang ditransfusikan, sehingga transfusi menjadi tidak efektif.
Jika di dalam darah contoh terdapat antibodi, maka dosis plasma konsentratnya dinaikkan atau diberikan factor pembekuan yang berbeda atau diberikan obat-obatan untuk mengurangi kadar antibodi.
Kandungan : Kriopresipitas: fresh frozen plasma 8-100 unit antihemophilic globulin, Faktor VIII : 2332 asam amino, AHF : fresh frozen plasma

b. Penatalaksanaan Keperawatan
Penderita hemofilia harus menyadari keadaan yang bisa menimbulkan perdarahan. Mereka harus sangat memperhatikan perawatan giginya agar tidak perlu menjalani pencabutan gigi. Istirahatkan anggota tubuh dimana ada luka. Bila kaki yang mengalami perdarahan, gunakan alat Bantu seperti tongkat. Kompreslah bagian tubuh yangterluka dan daerah sekitarnya dengan es atau bahan lain yang lembut & beku/dingin. Tekan dan ikat, sehingga bagian tubuh yang mengalami perdarahan tidak dapat bergerak (immobilisasi). Gunakan perban elastis namun perlu di ingat, jangan tekan & ikat terlalu keras. Letakkan bagian tubuh tersebut dalam posisi lebih tinggi dari posisi dada dan letakkan diatas benda yang lembut seperti bant
c. Pemeriksaan Khusus
Riwayat keluarga dan riwayat perdarahan setelah trauma ringan)
Kadar faktor VIII dan faktor IX) PTT diferensial.
C. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian perawatan
Pada pengkajian anak dengan hemophilia dapat ditemukan adanya pendarahan kambuhan yang dapat timbul setelah trauma baik ringan maupun berat. Pada umumnya pendarahan di daerah persendian lutut, siku, pergelangan kaki, bahu, dan pangkal paha ; sedangkan otot yang paling sering terkena adalah flrksor lengan bawah. Khususnya pasa bayi dapat terlihat adanya perdarahan yang berkepanjangan setelah bayi dilakukan sirkumsisi, adanya hematoma setelah terjadinya infeksi , sering pendarahan pada mukosa oral dan jaringan lunak, sering awalnya disertai dengan nyeri kemudian setelah nyeri akan menjadi bengkak, hangat, dan menurunnya mobilitas. Pada pemeriksaan laboratorium dapat dijumpai jumlah trombositnya normal, masa protombinnya normal, masa tromboplastin parsialnya meningkat. (David Ovedoff, 2002).

a. Aktivitas
Gejala :Kelelahan, malaise, ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas.
b. Tanda :Kelemahan otot, somnolen
c. Sirkulasi
Gejala :Palpitasi Tanda :Kulit, membran mukosa pucat, defisit saraf serebral
d. tanda perdarahan serebral
e. Eliminasi
Gejala :Hematuria
f. Integritas ego
Gejala :Persaan tak ada harapan, tak berdaya
Tanda :Depresi, menarik diri, ansietas, marah
g. Nutrisi
Gajala :Anoreksia, penurunan berat badan
h. Nyeri
Gejala :Nyeri tulang, sendi, nyeri tekan sentral, kram otot
Tanda :Perilaku berhati-hati, gelisah, rewel
i. Keamanan
Gejala :Riwayat trauma ringan, perdarahan spontan.
Tanda :Hematom
2. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan aktif ditandai dengan kesadaran menurun, perdarahan
Tujuan/Kriteria hasil: Tidak terjadi penurunan kesadaran, pengisian kapiler baik, perdarahan dapat teratasi

Intervensi
1) Kaji penyebab perdarahan
2) Kaji warna kulit, hematom, sianosis
3) Kolaborasi dalam pemberian IVFD adekuat
4) Kolaborasi dalam pemberian tranfusi darah

Rasional
1) Dengan mengetahui penyebab dari perdarahan maka akan membantu dalam menentukan intervensi yang tepat bagi pasien
2) Memberikan informasi tentang derajat /keadekuatan perfusi jaringan dan membantu dalam menentukan intervensi yang tepat
3) Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit serta memaksimalkan kontraktilitas / curah jantung sehingga sirkulasi menjadi adekuat
4) Memperbaiki / menormalakn jumlah sel darah merah dan meningkatkan kapasitas pembawa oksigen sehingga perfusi jaringan menjadi adekuat

b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan akibat perdarahan ditandai dengan mukosa mulut kering,turgor kulit lambat kembali.
Tujuan/Kriteria hasil: Menunjukan perbaikan keseimbangan cairan, mukosa mulut lembab, turgor kulit cepat kembali kurang dari 2 detik

Intervensi
1) Awasi TTV
2) Awasi haluaran dan pemasukan
3) Perkirakan drainase luka dan kehilangan yang tampak
4) Kolaborasi dalam pemberian cairan adekuat

Rasional
1) Perubahan TTV kearah yang abnormal dapat menunjukan terjadinya peningkatan kehilangan cairan akibat perdarahan / dehidrasi
2) Perlu untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan membantu mengevaluasi status cairan
3) Memberikan informasi tentang derajat hipovolemi dan membantu menentukan intervensi
4) Mempertahankan keseimbangan cairan akibat perdarahan
c. Resiko tinggi injuri berhubungan dengan kelemahan pertahanan sekunder akibat hemofilia ditandai dengan seringnya terjadi cedera
Tujuan/Kriteria hasil: Injuri dan kompllikasi dapat dihindari/tidak terjadi

Intervensi
1) Pertahankan keamanan tempat tidur klien, pasang pengaman pada tempat tidur
2) Hindarkan dari cedera, ringan – berat
3) Awasi setiap gerakan yang memungkinkan terjadinya cedera
4) Anjurkan pada orangtua untuk segera membawa anak ke RS jika terjadi injuri
5) Jelaskan pada orang tua pentingnya menghindari cedera. 1. Menurunkan resiko cidera / trauma
Rasional
Jaringan rapuh dan gangguan mekanisme pembekuan menigkatkan resiko perdarahan meskipun cidera /trauma ringan
1) Paien hemofilia mempunyai resiko perdarhan spontan tak terkontrol sehingga diperlukan pengawasan setiap gerakan yang memungkinkan terjadinya cidera
2) Identifikasi dini dan pengobatan dapat membatasi beratnya komplikasi
3) Orang tua dapat mengetahui mamfaat dari pencegahan cidera/ resiko perdarahan dan menghindari injuri dan komplikasi

D. Perawatan Kesehatan
1. Secara Umum
yang dibutuhkan oleh seorang penderita hemofilia untuk menjaga kondisi tubuh yang baik
a. Mengkonsumsi makanan/minuman yang sehat dan menjaga berat tubuh tidak berlebihan. Karena berat berlebih dapat mengakibatkan perdarahan pada sendi-sendi di bagian kaki (terutama pada kasus hemofilia berat).
b. Melakukan kegiatan olahraga. Berkaitan dengan olah raga, perhatikan beberapa hal berikut:
1) Olah raga akan membuat kondisi otot yang kuat, sehingga bila terbentur otot tidak mudah terluka dan perdarahan dapat dihindari.
2) Bimbingan seorang fisio-terapis atau pelatih olah raga yang memahami hemofilia akan sangat bermanfaat.
3) Bersikap bijaksana dalam memilih jenis olah raga; olah raga yang beresiko adu fisik seperti sepak bola atau gulat sebaiknya dihindari. Olah raga yang sangat di anjurkan adalah renang.
4) Bimbingan seorang fisio-terapis dari klinik rehabilitasi medis diperlukan pula dalam kegiatan melatih otot pasca perdarahan.
c. Rajin merawat gigi dan gusi dan melakukan pemeriksaan kesehatan gisi dan gusi secara berkala/rutin, paling tidak setengah tahun sekali, ke klinik gigi
d. Mengikuti program imunisasi. Catatan bagi petugas medis adalah suntikan imunisasi harus dilakukan dibawah kulit (Subkutan) dan tidak ke dalam otot, diikuti penekanan lubang bekas suntikan paling sedikit 5 menit.
e. Menghindari penggunaan Aspirin, karena aspirin dapat meningkatkan perdarahan. Penderita hemofilia dianjurkan jangan sembarang mengkonsumsi obat-obatan. Langkah terbaik adalah mengkonsultasikan lebih dulu kepada dokter.
f. Memberi informasi kepada pihak-pihak tertentu mengenai kondisi hemofilia yang ada, misalnya kepada pihak sekolah, dokter dimana penderita berobat, dan teman-teman di lingkungan terdekat secara bijaksana.
g. Memberi lingkungan hidup yang mendukung bagi tumbuhnya kepribadian yang sehat agar dapat optimis dan berprestasi bersama hemofilia.

2. Perawatan Kesehatan Khusus
Perawatan kesehatan khusus diberikan ketika penderita hemofilia mengalami luka atau perdarahan. Perdarahan dapat terjadi di bagian dalam dan luar tubuh. Perdarahan di bagian dalam tubuh umumnya sulit atau tidak terlihat mata. Pada kondisi ini diperlukan kewaspadaan dan pertolongan segera. Kewaspadaan juga diperlukan karena perdarahan dapat terjadi tanpa sebab yang jelas.
Kewaspadaan lainnya yang harus dilakukan apabila terjadi benturan keras pada kepala penderita. Penderita hendaknya segera dibawa kerumah sakit terdekat untuk dapat dirawat secara khusus dan seksama oleh dokter. Karena perdarahan yang terjadi pada kepala dapat berakibat buruk bahkan hingga sampai pada keadaan yang mematikan.












BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Hemofilia adalah penyakit gangguan pembekuan darah yang diturunkan melalui kromosom X. Penyakit ini lebih banyak menyerang laki-laki karena hanya mempunyai kromosom X, sedangkan wanita hanya sebagai pembawa atau carier. Hemofilia dibedakan menjadi 2 yaitu hemofilia tipe A yang disebabkan karena kurangnya faktor pembekuan darah ke VII dan hemofilia tipe B yang disebabkan karena kurangnya faktor pembekuan darah ke IX. Salah satu tanda dan gejalanya ialah terjadinya perdarahan pada jaringan, karena dapat dengan mudah mengalami perdarahan jika terjadi trauma sedikit saja. Kurangnya faktor pembekuan darah tersebut dapat diatasi dengan melakukan transfusi dengan teknik virisidal.
Sebagai perawat dituntut untuk dapat mengetahui secara detail teknik pencegahan terjadinya perdarahan ataupun meminimalkan terjadinya trauma.

B. Saran
1. Diharapkan kepada rekan-rekan untuk dapat menambah pengetahuannya yang berhubungan dengan Hemofilia
2. Diharapkan kepada Pihak Institusi untuk dapat menambah kolek buku literatur yang berhubungan dengan Hemovilia
3. Masukan-masukan dari dosen pengasuh/pembimbing sangat diharapkan untuk kesempurnaan penyusunan makalah yang berhubungan hemofilia.




DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marillyn E. 1999.Rencana Asuhan Keperawatan.Edisi 3.Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Ngastiyah.1997.Perawatan Anak Sakit. Penerbit Buku Kedokteran EGC.Jakarta
Ovedoff, David.2002.Kapita Selekta Kedokteran.Binarupa Aksara.Jakarta
Sodeman.1995.Patofisiologi.Edisi 7.Jilid 2.Hipokrates.Jakarta
www.id.wikipedia.org
www.medicastore.com
www.indonesian hemophilia society.com
www.info-sehat_com.htm
www.purnama87.blogspot.com/2008/05/askep-hemofilia.html
by Khaidir muhaj di 23:51

Rabu, 12 Januari 2011

askep asd/ vsd

Askep anak dengan ASD/ VSD



DI SUSUN OLEH
M.IHSAN


PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM
PONTIANAK
2010-2011

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di antara berbagai kelainan bawaan (congenital anomaly) yang ada, penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan yang sering ditemukan. Di amerika serikat, insidens penyakit jantung bawaan sekitar 8 – 10 dari 1000 kelahiran hidup, dengan sepertiga di antaranya bermanifestasi sebagai kondisi kritis pada tahun pertama kehidupan dan 50% dari kegawatan pada bulan pertama kehidupan berakhir dengan kematian penderita. Di indonesia, dengan populasi lebih dari 200 juta penduduk dan angka kelahiran hidup 2%, diperkirakan terdapat sekitar 30.000 penderita (www.google//http.inside rate of atrium septal defect.com)
Berdasar data diatas maka penulis merasa tertarik untuk menyusun makalah tentang Atrium Septal Defect dam Ventrikel Septal Devect dan asuhan keperawatannya.

B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari laporan kasus ini adalah:
1. Meningkatkan pengetahuan mengenai asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem kardiovaskuler “Atrium Septal Defect”.
2. Memberikan saran serta alternatif untuk memecahkan masalah dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem kardiovaskuler “Ventrikle Septal Defect”.

C. Metode Penulisan
Penulisan laporan kasus ini menggunakan metode deskriptif yaitu metode yang menggambarkan penyakit Atrium Septal Defect dengan cara:

1. Studi kepustakaan / literatur
Metode ini dilakukan dengan cara mempelajari buku – buku dan sumber lain yang berhubungan dengan judul makalah.

D. Ruang lingkup penulisan
Dalam penulisan makalah ini kelompok hanya membahas tentang Asuhan Keperawatn Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler “Atrial Septal Defect dan Ventrikle Septal Defect” yang berdasarkan teoritis.

E. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari IV bab yang disusun dengan sistematikasebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang penulisan, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II : landasan teoritis yang terdiri dari anatomi fisiologi dan konsep dasar penyakit
BAB III : Asuhan keperawatan Atrium Septal Defect
BAB IV : Penutup

DAFTAR PUSTAKA









BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Anatomi Fisiologi Kardiovaskuler
1. Jantung
Jantung merupakan sebuah organ muskuler berongga yang terdiri dari otot-otot. Otot jantung merupakan jaringan istimewa karena jika dilihat dari bentuk dan susunannya sama dengan otot serat lintang, dan cara kerjanya dipengaruhi oleh susunan saraf otonom atau diluar kemauan kita.
Bentuk jantung menyerupai jantung pisang bagian atasnya tumpul (pangkal jantung) yang disebut juga basis kordis, disebelah bawah agak runcing yang disebut apeks cordis. Jantung terletak dirongga dada sebelah depan (cavum mediastinum anterior), sebelah kiri bawah dari pertengahan rongga dada, diatas diafragma, dan pangkalnya terdapat dibelakang kiri antara costa V dan VI, dua jari dibawah papila mamae. Pada tempat ini teraba adanya denyutan jantung yang disebut iktuscordis. Ukuran jantung + sebesar genggaman tangan kanan dan beratnya kira-kira 250 – 300 gram.


2. Lapisan Jantung
(Menurut Syaifiuddin 2006 hal, 122) lapisan jantung terdiri dari 3 lapisan:
a. Perikardium
Lapisan ini merupakan lapisan terluar dari jantung yang merupakan selaput pembungkus, yang terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan parietal dan viseral yang bertemu di pangkal jantung membentuk kantung jantung.


b. Miokardium
Lapisan ini merupakan lapisan inti dari jantung yang terdiri dari otot-otot jantung, otot jantung ini membentuk bundalan-bundalan otot yaitu :
1) Bundalan otot atria, yang terdapat dibagian kiri atau kanan dari basis cordis yang membentuk serambi atau aurikula cordis.
2) Bundalan otot ventrikel, yang membentuk bilik jantung, yang dimulai dari cincin atrio ventikuler sampai di apeks jantung.
3) Bundalan otot atrio ventrikuler, merupakan dinding pemisah antara serambi dan bilik jantung.

c. Endokardium
Merupakan lapisan jantung yang terdapat disebelah dalam yang terdiri dari jaringan endotel atau selaput lendir yang melapisi permukaan rongga jantung.
3. Ruang Jantung




a. Atrium kanan
Berfungsi sebagai penyimpan darah yang berasal dari vena cava superior dan inferior dan pemyalur darah dari vena – vena sirkulasi sistemik kedalam ventrikel kanan kemudian ke paru – paru.
b. Ventrikel kanan
Ventrikel kanan berbentuk bulan sabit yang unik guna menghasilkan kontraksi bertekanan rendah yang cukup untuk mengalirkan darah kedalam arteri pulmonalis
c. Atrium kiri
Atrium kiri menerima darah yang sudah di oksigenisasikan dari paru – paru melalui vena pulmonalis
d. Ventrikel kiri
Ventrikel kiri meghasilkan tekanan yang tinggi untuk mengatasi tahanan sirkulasi sistemik dan mempertahankan aliran darah ke jaringan perifer.
4. Katup-katup Jantung
Katup jantung berfungsi mempertahankan aliran darah searah melaui bilik-bilik jantung. Ada 2 jenis katup jantung yaitu katup atrioventrikularis (katup AV) yang memisahkan atrium dengan ventrikel, dan katup semilunaris yang memisahkan arteri pulmonalis dan aorta dari ventrikel yang bersangkutan. Katup-katup ini membuka dan menutup secara pasif, menanggapi perubahan tekanan dan volume dalam bilik-bilik jantung dari pembuluh darah.
a. Katup Atrioventrikularis
Katup ini terbagai atas 2 katup yaitu :
1) Katup trikuspidalis
Terletak diantara atrium kanan dan ventrikel kanan, yang berfungsi sebagai penerima suplai darah dari atrium kanan dan menyalurkan ke ventrikel kanan.
2) Katup bikuspidalis atau mitral
Terletak antara atrium kiri dan ventrikel kiri, berfungsi sebagai penerima suplai darah yang kaya O2 dari atrium kiri kemudian dialirkan ke ventrikel kiri.
b. Katup Semilunaris
Terdiri dari 2 katup yaitu :
1) Katup pulmonalis
Terletak antara ventrikel kanan dan arteri pulmonalis, berfungsi mengalirkan darah ke paru-paru.
2) Katup aorta
Terletak antara ventrikel kiri dan aorta, berfungsi mengalirkan darah ke seluruh tubuh.

5. Sistem Peredaran Darah Manusia
Macam Peredaran Darah
Peredaran darah manusia merupakan peredaran darah tertutup karena darah yang dialirkan dari dan ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah dan darah mengalir melewati jantung sebanyak dua kali sehingga disebut sebagai peredaran darah ganda yang terdiri dari :









a. Peredaran darah panjang/besar/sistemik
Adalah peredaran darah yang mengalirkan darah yang kaya oksigen dari bilik (ventrikel) kiri jantung lalu diedarkan ke seluruh jaringan tubuh. Oksigen bertukar dengan karbondioksida di jaringan tubuh. Lalu darah yang kaya karbondioksida dibawa melalui vena menuju serambi kanan (atrium) jantung.
b. Peredaran darah pendek/kecil/pulmonal
Adalah peredaran darah yang mengalirkan darah dari jantung ke paru-paru dan kembali ke jantung. Darah yang kaya karbondioksida dari bilik kanan dialirkan ke paru-paru melalui arteri pulmonalis, di alveolus paru-paru darah tersebut bertukar dengan darah yang kaya akan oksigen yang selanjutnya akan dialirkan ke serambi kiri jantung melalui vena pulmonalis.
Proses peredaran darah dipengaruhi juga oleh kecepatan darah, luas penampang pembuluh darah, tekanan darah dan kerja otot yang terdapat pada jantung dan pembuluh darah.
Pada kapiler terdapat spingter prakapiler mengatur aliran darah ke kapiler :
1) Bila spingter prakapiler berelaksasi maka kapiler-kapiler yang bercabang dari pembuluh darah utama membuka dan darah mengalir ke kapiler.
2) Bila spingter prakapiler berkontraksi, kapiler akan tertutup dan aliran darah yang melalui kapiler tersebut akan berkurang.
B. Konsep Dasar Penyakit
1. Pengertian Atrium Septal Defect (ASD)
a. Atrium Septal Defect (ASD)
Atrium Septal Defect (ASD) adalah penyakit jantung bawaan berupa lubang (defek) pada septum interatrial (sekat antar serambi) yang terjadi karena kegagalan fungsi septum interatrial semasa janin. Atrial Septal Defect (ASD) adalah suatu lubang pada dinding (septum) yang memisahkan jantung bagian atas (atrium kiri dan atrium kanan).
Kelainan jantung ini mirip seperti Ventrikel Septal Defect (VSD), tetapi letak kebocoran di septum antara serambi kiri dan kanan. Kelainan ini menimbulkan keluhan yang lebih ringan dibanding VSD.
Atrial Septal Defect (ASD) adalah adanya hubungan (lubang) abnormal pada sekat yang memisahkan atrium kanan dan atrium kiri. Kelainan jantung bawaan yang memerlukan pembedahan jantung terbuka adalah defek sekat atrium.
Defek sekat atrium adalah hubungan langsung antara serambi jantung kanan dan kiri melalui sekatnya karena kegagalan pembentukan sekat. Defek ini dapat berupa defek sinus venousus di dekat muara vena kava superior, foramen ovale terbuka pada umumnya menutup spontan setelah kelahiran, defek septum sekundum yaitu kegagalan pembentukan septum sekundum dan defek septum primum adalah kegagalan penutupan septum primum yang letaknya dekat sekat antar bilik atau pada bantalan endokard.



Macam-macam defek sekat ini harus ditutup dengan tindakan bedah sebelum terjadinya pembalikan aliran darah melalui pintasan ini dari kanan ke kiri sebagai tanda timbulnya sindrome Eisenmenger. Bila sudah terjadi pembalikan aliran darah, maka pembedahan dikontraindikasikan. Tindakan bedah berupa penutupan dengan menjahit langsung dengan jahitan jelujur atau dengan menambal defek dengan sepotong dakron. Berdasarkan lokasi lubang, diklasifikasikan dalam 3 tipe, yaitu:
1) Ostium Primum (ASD 1), letak lubang di bagian bawah septum,mungkin disertai kelainan katup mitral.
2) Ostium Secundum (ASD 2), letak lubang di tengah septum.
3) Sinus Venosus Defek, lubang berada diantara Vena Cava Superior dan Atrium Kanan.

b. Etiologi
Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor yang diduga mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian ASD, faktor – faktor tersebut diantaranya:
1) Faktor prenatal
a) Ibu menderita infeksi rubella
b) Ibu Alkoholisme
c) Umur ibu lebih dari 40 Tahun
d) Ibu menderita IDDM
e) Ibu meminum obat – obatan penenang atau jamu
2) Faktor genetik
a) Anak yang lahir sebelumnya menderita penyakit jantung bawaan
b) Ayah atau ibunya menderita penyakit jantung bawaan
c) Kelainan kromosom misalnya sindrom down
d) Lahir dengan kelainan bawaan lain
ASD merupakan suatu kelainan jantung bawaan. Dalam keadaan normal, pada peredaran darah janin terdapat suatu lubang diantara atrium kiri dan kanan sehingga darah tidak perlu melewati paru-paru. Pada saat bayi lahir, lubang ini biasanya menutup. Jika lubang ini tetap terbuka, darah terus mengalir dari atrium kiri ke atrium kanan (shunt). Penyebab dari tidak menutupnya lubang pada septum atrium ini tidak diketahui.


c. Patofisiologi
Pada kasus Atrial Septal Defect yang tidak ada komplikasi, darah yang mengandung oksigen dari Atrium Kiri mengalir ke Atrium Kanan tetapi tidak sebaliknya. Aliran yang melalui defek tersebut merupakan suatu proses akibat ukuran dan complain dari atrium tersebut. Normalnya setelah bayi lahir complain ventrikel kanan menjadi lebih besar daripada ventrikel kiri yang menyebabkan ketebalan dinding ventrikel kanan berkurang. Hal ini juga berakibat volume serta ukuran atrium kanan dan ventrikel kanan meningkat. Jika complain ventrikel kanan terus menurun akibat beban yang terus meningkat shunt dari kiri kekanan bisa berkurang. Pada suatu saat sindroma Eisenmenger bisa terjadi akibat penyakit vaskuler paru yang terus bertambah berat. Arah shunt pun bisa berubah menjadi dari kanan kekiri sehingga sirkulasi darah sistemik banyak mengandung darah yang rendah oksigen akibatnya terjadi hipoksemi dan sianosis.














Pathway ASD
Defek

Darah yg mengandung oksigen
Atrium kiri Atrium kanan
Pembesaran complain ventrikel kanan

Berkurangnya ketebalan dinding ventrikel kanan

Proses pembesaran volume, ukuran dan complain atrium kanan

Tekanan ventrikel kanan menurun
( meningkatkan shunt dari kiri ke kanan )

Vascular paru meningkat( sindrom eisenmenger)
Sirkulasi darah sistemik banyak mengandung darah yang rendah oksigen
Hipotensi dan sianosis







d. Manifestasi klinis
Adapun manifestasi klinis dari Ateri Septal Defect
1) Sering mengalami infeksi saluran pernafasan
2) Dispneu (kesulitan dalam bernafas)
3) Sesak nafas ketika melaukan aktivitas
4) Jantung berdebar – debar (palpitasi)
5) Aritmia
6) Clubbing finger
e. Komplikasi
Adapun komplikasi dari Aterial Septal Defect
1) Gagal jantung
2) Penyakit pembuluh darah paru
3) Endokarditis
4) Aritmia
5) Clubbing finger
f. Pemeriksaan diagnostik
1) Rontgen dada
2) Ekokardiografi
3) Doppler berwarna
4) Ekokardiografi trans esofageal
5) Kateterisasi jantung
6) MRI dada
7) Foto thorax
g. Penatalaksanaan
1) Pembedahan penutupan defek dianjurkan pada saat anak berusia 5-10 tahun. Prognosis sangat ditentukan oleh resistensi kapiler paru, dan bila terjadi sindrome Eisenmenger, umumnya menunjukkan prognosis buruk.
2) Amplazer Septal Ocluder
3) Sadap jantung (bila diperlukan).
h. Asuhan Keperawatan pada anak dengan Ateri Septal Defect (ASD)
1) Pengkajian
a) Riwayat kesehatan
Bukti penambahan BB yang buruk, makan buruk, intoleransi aktivitas, postur tubuh tidak umum, atau infeksi saluran pernapasan yang sering. Observasi anak terhadap manifestasi ASD
Pada Bayi
- Dispnea, khususnya setelah kerja fisik seperti makan, menangis, mengejan
- Keletihan
- Pertumbuhan dan perkembangan buruk (gagal tumbuh)
Sebagian anak menderita KJB dapat tumbuh dan berkembang secara normal. Pada kasus yang spesifik seperti VSD, ASD dan TF, pertumbuhan fisik anak terganggu, terutama berat badannya. Anak kelihatan kurus dan mudah sakit, terutama karena mengalami infeksi saluran pernapasan. Sedangkan untuk perkembangannya yang sering mengalami gangguan adalah aspek motoriknya.
- Pola Aktivitas
Anak-anak yang menderita TF sering tidak dapat melaksanakan aktivitas sehari-hari secara normal. Apabila melakukan aktivitas yang membutuhkan banyak energi, seperti berlari, bergerak, berjalan-jalan cukup jauh, makan/minum yang tergesa-gesa, menangis atau tiba-tiba jongkok (squating), anak dapat mengalami serangan sianosis. Hal ini dimaksudkan untuk memperlancar aliran darah ke otak. Kadang-kadang tampak pasif dan lemah, sehingga kurang mampu untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari dan perlu dibantu
b) Lakukan pemeriksaan fisik dengan pemeriksaan yang mendetail terhadap jantung.
(a) Denyut arteri pulmonalis dapat diraba di dada
(b) Pemeriksaan dengan stetoskop menunjukkan bunyi jantung yang Abnormal.
(c) Bisa terdengar murmur akibat peningkatan aliran darah yang melalui katup pulmonalis
(d) Tanda-tanda gagal jantung
(e) Jika shuntnya besar, murmur juga bisa terdengar akibat peningkatan aliran darah yang mengalir melalui katup trikuspidalis
c) Lakukan pengukuran tanda-tanda vital.
d) Kaji tampilan umum, perilaku, dan fungsi:
(1) Inspeksi
(a) Status nutrisi–Gagal tumbuh atau penambahan berat badan yang buruk berhubungan dengan penyakit jantung.
(b) Warna – Sianosis adalah gambaran umum dari penyakit jantung kongenital, sedangkan pucat berhubungan dengan anemia, yang sering menyertai penyakit jantung.
(c) Deformitas dada – Pembesaran jantung terkadang mengubah konfigurasi dada.
(d) Pulsasi tidak umum – Terkadang terjadi pulsasi yang dapat dilihat.
(e) Ekskursi pernapasan – Pernapasan mudah atau sulit (mis; takipnea, dispnea, adanya dengkur ekspirasi).
(f) Jari tabuh – Berhubungan dengan beberapa type penyakit jantung kongenital.
(g) Perilaku – Memilih posisi lutut dada atau berjongkok merupakan ciri khas dari beberapa jenis penyakit jantung.
(2) Palpasi dan perkusi
(a) Dada – Membantu melihat perbedaan antara ukuran jantung dan karakteristik lain (seperti thrill-vibrilasi yang dirasakan pemeriksa saat mampalpasi)
(b) Abdomen – Hepatomegali dan/atau splenomegali mungkin terlihat.
(c) Nadi perifer – Frekwensi, keteraturan, dan amplitudo (kekuatan) dapat menunjukkan ketidaksesuaian.
(3) Auskultasi
(a) Jantung – Mendeteksi adanya murmur jantung.
(b) Frekwensi dan irama jantung – Menunjukkan deviasi bunyi dan intensitas jantung yang membantu melokalisasi defek jantung.
(c) Paru-paru – Menunjukkan ronki kering kasar, mengi.
(d) Tekanan darah – Penyimpangan terjadi dibeberapa kondisi jantung (mis; ketidaksesuaian antara ekstremitas atas dan bawah) Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian – mis; ekg, radiografi, ekokardiografi, fluoroskopi, ultrasonografi, angiografi, analisis darah (jumlah darah, haemoglobin, volume sel darah, gas darah), kateterisasi jantung.


2) Diagnosa keperawatan
a) Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan defek struktur
b) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan gangguan sistem transport oksigen
c) Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan ketidak adekuatan oksigen dan nutrien pada jaringan; isolasi sosial.
d) Resiko tinngi infeksi berhubungan dengan status fisik yang lemah
e) Resiko tinggi cedera (komplikasi )berhubungan dengan kondisi jantung dan terapi
f) Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak dengan penyakit jantung (ASD)

3) Rencana keperawatan
a) Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan defek struktur
Tujuan : Klien akan menunjukan perbaikan curah jantung
kriteria hasil
(1) Frekwensi jantung, tekanan darah, dan perfusi perifer berada pada batas normal sesuai usia
(2) Keluaran urine adekuat (antara 0,5 – 2 ml/kg BB, tergantung pada usia)
Intervensi keperawatan
(1) Beri digoksin sesuai program
(2) Beri obat penurun afterload sesuai program
(3) Beri diuretik sesuai program
Rasional
Dengan menggunakan menggunakan kewaspadaan yang dibuat untuk mencegah toxisitas

b) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan gangguan sistem transport oksigen
Tujuan : klien mempertahankan tingkat energi yang adekuat tanpa stress tambahan
Kriteria Hasil
(1) Anak menentukan dan melakukan aktivitas yang sesuai dengan kemampuan
(2) Anak mendapatkan waktu istirahat atau tidur yang tepat
Intervensi
(1) Berikan periode istirahat yang sering dan periode tidur tanpa gangguan
(2) Anjurkan prmainan dan aktivitas tenang
(3) Bantu anak memilih aktivitas yang sesuai dengan usia, kondisi, dan kemampuan.
(4) Hindari suhu lingkungan yang ekstrem karena hipertermia atau hipotermia meningkatkan kebutuhan oksigen
(5) Implementasikan tindakan untuk menurunkan ansietas
(6) Berespon dengan segera terhadap tangisan atau ekspresi lain dari strees

c) Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan ketidak adekuatan oksigen dan nutrien pada jaringan; isolasi sosial.
Tujuan : pasien mengikuti kurva pertumbuhan berat badan dan tinggi badan
Kriteria Hasil:
(1) Anak mencapai pertumbuhan yang adekuat
(2) Anak melakuakan aktivitas sesuai usia
(3) Anak tidak mengalami isolasi sosial
Intervensi
(1) Beri diet tinggi nutrisi yang seimbang untuk mencapai pertumbuhan yang adekuat
(2) Pantau tinggi dan brat badan; gambarkan pada grafik pertumbuhan untuk menentukan kecendrungan pertumbuhan
(3) Dapat memberikan suplemen zat besi untuk mengatasi anemia, bila di anjurkan
(4) Dorong aktivitas yang sesuai usia.
(5) Tekankan bahwa anak mempunyai kebutuhan yang sama terhadap sosialisasi seperti anak yang lain.
(6) Izinkan anak menata ruanganya sendiri dan batasan aktivitas karena anak akan beristirahat bila lelah.
d) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan status fisik yang lemah
Tujuan : klien tidak menunjukan bukti – bukti infeksi
Kriteria Hasil
- Anak bebas dari infeksi
Intervensi
(1) Hindari kontak dengan individu yang terinfeksi
(2) Beristirahat yang adekuat
(3) Beri nutrisi optimal untuk mendukung pertahanan alami



e) Resiko tinggi cedera (komplikasi )berhubungan dengan kondisi jantung dan terapi
Tujuan : klien / keluarga mengenali tanda – tanda komplikasi secara dini
Kriteria hasil
(1) Keluarga mengenali tanda – tanda komplikasi dan melakukan tindakan yang tepat
(2) Klien / keluarga menunjukan pemahaman tentang tes diagnostik dan pembedahan

Intervensi
(1) Ajari keluarga untuk mengenali tanda – tanda komplikasi:
Gagal jantung kongestif:
(a) Takikardi, khususnya selama istirahat dan aktivitas rigan
(b) Takipnea
(c) Keringat banyak di kulit kepala, khusunya pada bayi
(d) Keletihan
(e) Penambahan berat badan yang tiba – tiba
(f) Distress pernapasan
Toksisitas digoksin
(a) Muntah (tanda paing dini)
(b) Mual
(c) Anoreksia
(d) Bradikardi
(e) Disritmia
(f) Peningkatan upaya pernafasan – retraksi, mengorok, batuk, sianosis
(g) Hipoksemia – sianosis, gelisah.
(h) Kolaps kardiovaskuler – pucat, sianosis, hipotonia.
(2) Ajari keluarga untuk melakukan intervensi selam serangan hipersianotik
(a) Tempatkan anak pada posisi lutut – dada dengan kepala dan dada ditinggikan
(b) Tetap tenang
(c) Beri oksigen 100% dengan asker wajah bila ada
(3) Jelaskan atau klarifikasi informasi yang diberikan oleh praktisi dan ahl bedah pada keluarga
(4) Siapkan anak dan orang tua untuk prosedur
(5) Bantu membuat keputusan keluarga berkaitan dengan pembedahan
(6) Gali perasaan mengenai pilihan pembedahan

f) Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak dengan penyakit jantung (ASD)
Tujuan : klien dan keluarga mengalami penurunan rasa tajut dan ansietas , klien menunjukan perilaku koping yang positif
Kriteria Hasil:
(1) Keluarga mendiskusikan rasa takut dan ansietasnya
(2) Keluarga menghadapi gejala anak dengan cara yang positif

Intervensi :
(1) Diskusikan dengan orang tua dan anak (bila tepat) tentang ketakutan mereka dan masalah defek jantung dan gejala fisiknya pada anak karena hal ini sering menyebabkan ansietas/rasa takut.
(2) Dorong keluarga untuk berpartisipasi dalam perawatan anak selama hospitalisasi untuk memudahkan koping yang lebih baik di rumah.
(3) Dorong keluarga untuk memasukkan orang lain dalam perawatan anak untuk mencegah kelelahan pada diri mereka sendiri.
(4) Bantu keluarga dalam menentukan aktivitas fisik dan metode disiplin yang tepat untuk anak

Evaluasi
Proses : langsung setalah setiap tindakan
Hasil : tujuan yang diharapkan
(1) Tanda-tanda vital anak berada dalam batas normal sesuai dengan usia
(2) Anak berpartisipasi dalam aktivitas fisik yang sesuai dengan usia
(3) Anak bebas dari komplikasi pascabedah











2. Defek septum ventrikel (DSV)
a. Definisi
Suatu keadaan abnormal yaitu adanya pembukaan antara ventrikel kiri dan ventrikel kanan.


b. Etiologi
Penyebab penyakit jantung congenital berkaitan dengan kelainan perkembangan embrionik pada usia lima sampai delapan minggu, janutng dan pembuluh besar terbentuk.
Gangguan perkembangan ini disebabkan factor prenatal seperti infeksi ibu selama trimester pertama. Agen penyebab lain adalah rubella, influenza, chicken fox. Factor prenatal seperti ibu menderita DM dengan ketergantungan pada insulin serta factor genetic yang mempengaruhi terjadinya kelainan tersebut. Factor lingkungan seperti radiasi, gizi ibu jelek dan alcohol turut ikut mempengaruhi.

c. Patofisiologi
Adanya defek pada ventrikel, menyebabkan tekanan ventrikel kiri meningkat dan resistensi sirkulasi arteri sistemik lebih tinggi dibandingkan resistensi pulmonal. Hal ini mengakibatkan darah mengalir ke arteri pulmonal melalui defek septum.
Volume darah di paru akan meningkat dan terjadi resistensi pembuluh darah paru. Dengan demikian tekanan diventrikel kanan meningkat akibat adanya shunting dari kiri kekanan. Ini akan beresiko endokarditis dan mengakibatkan terjadinya hipertropi otot ventrikel kanan sehingga akan berdampak pada peningkatan workload sehingga atrium kanan tidak dapat mengimbangi meningkatnya workload, terjadilah pembesaran atrium kanan untuk mengatasi resistensi yang disebabkan oleh pengosongan atrium yang tidak sempurna.



















Parthway
















d. Tanda dan gejala
1) Murmur
2) Distensi vena jugularis
3) Edema
4) Hepatomegali








5) Diaphoresis
6) Tidak mau makan
7) Tacipnea

e. Pemeriksaan diagnostic
1) Auskultasi jantung
2) Pantau tekanan darah
3) Foto roentgen
4) ECG
5) Echocardiogram
6) MRI

f. Penanganan
1) Pembedahan : menutup defek dengan dijahit melalui cardiopulmonary bypass
2) Non pembedahan : menutup defek dengan alat melalui kateterisasi jantung
g. Komplikasi
1) Endokarditis
2) Obstruksi pembuluh darah pulmonal
3) Syndrome eisenmenger
h. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian
a) Riwayat keperawatan; respon fisiologis terhadap defek (sianosis, aktivitas terbatas)
b) Kaji adanya tanda-tanda gagal jantung; nafas cepat, sesak nafas, retraksi.bunyi jantung tambahan (murmur), edema tungkai, hepatomegali.
c) Kaji adanya tanda hypoxia kronis: clubbing finger
d) Kaji pola makan, pola pertambahan berat badan.
2) Diagnosa Keperawatan
a) Penurunan curah jantung berhubungan dengan malmorasi jantung
b) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kongesti pulmonal
c) Tidak toeransi terhadap aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara pemakaian oksigen oleh tubuh dan suplai oksiden ke sel
d) Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan tidak adekuatnya suplai oksigen dan za nutrisi ke jaringan
e) Perubahan nutrisi kurang dari kebuuhan tubuh berhubungan denagn kelelahan pada saat makan dan meningkatnya kebutuhan kalori
f) Resiko infeksi ditandai dengan menurunnya status kesehatan
g) Perubahan peran orang tua berhubungan dengan hospitalisasi anak, kekhawatiran terhadap penyakit anak

3) Perencanaan
a) Meningkatkan curah jantung
(1) Observasi kualitas dan kekuatan denyut jantung, nadi perifer, warna dan kehangatan kulit
(2) Tegakkan derajat sianosis (sirkumorl, membran mukosa, clubbing)
(3) Monitor tanda-tanda CHF (gelisah, takikardi, tachypnea, sesak, lelah saat minum susu, perobital edema, oliguria, dan hepatomegali)
(4) Berkolaborasi dalam pemberian digoxin sesuai order, dengan menggunakan teknik pencegahan bahaya toksisitas
(5) Berikan pengobatan untuk menurunkan afterload
(6) Berikan deuretik sesuai indikasi
b) Meningkatkan resistensi pembuluh paru
(1) Monitor kualitas dan irama pernafasan
(2) Atur posisi anak dengan posisi fowler
(3) Hindarkan anak dari orang terinfeksi
(4) Berikan istirahat yang cukup
(5) Berikan nutrisi yang optimal
(6) Berikan oksigen jika ada indikasi
c) Mempertahankan tingkat aktivitas yang adekuat
(1) Ijinkan anak untuk sering beristirahat, hindarkan gangguan pada saat tidur
(2) Anjurkan untuk bermain dan beraktivitas ringan
(3) Bantu anak memilih aktivitas sesuai usia, kondisi, dan kemampuan anak
(4) Berikan wktu istirahat setelah melakukan aktivitas
(5) Hindarkan suhu linkingan yang terlalu panas dan dingin
(6) Hindarkan hal-hal yang menyebabkan ketakutan/ kecemasan pada anak

d) Mempertahankan berat badan yang sesuai
(1) Diit seimbang, tinggi ntrisi untuk pertumbuhan adekuat
(2) Monitor tinggi dan berat badan, dokumentasikan dalam bentuk grafik untuk mengetahui kecenderungan pertumbuhan anak


e) Mencegah terjadinya infeksi
(1) Hindari kontak dengan individu terinfeksi
(2) Berikan istirahat yang adekuat
(3) Berikan kebutuhan nutrisi yang optimal
f) Mempertahankan intake nutrisi untuk mempertahankan berat badan dan menopang pertumbuhan
(1) Timbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama
(2) Catat intake dan output secara benar
(3) Beri makanan dengan porsi kecil dan sering untuk menghindari kelelahan pada saat makan
(4) Anak yang mendapatkan deuretik biasanya sangat haus, oleh karena itu cairan tidak dibatasi
g) Memberikan dukungan orang tua
(1) Mengurangi ketakutan dan kecemasan orang tua dengan memberikan informasi yang jelas
(2) Libatkan orang tua dalam perawatan anak selama di rumah sakit
(3) Beri dorongan keluarga untuk melibatkan anggota keluarga lain dalam perawatan anak
(4) Eksplorasi perasaan orang tua mengenai ketakuatan, rasa bersalah, berduka, dan perasaan tidak mampu
i. Pengertian
Suatu keadaan abnormal yaitu adanya pembukaan antara ventrikel kiri dan ventrikel kanan. Defek septum ventrikel (DSV) terjadi bila bukaan (septum) ventrikel tidak terhenti sempurna. Akfbatnya darah dari bilik kiri mengalir ke bilik kanan pada saat sistole
Besarnya defek bervariasi dari hanya beberapa mm sampai beberapa cm. Pada defek besar dengan resistensi vaskular paru meninggi tekanan bilik kanan akan sama dengan bilik kiri sehingga pirau kiri ke kanan hanya sedikit. Bila makin besar defek dan makin tinggi tekanan bilik kanan akan terjadi pirau kanan ke kiri (lihat Gambar-24). Berkurangnya darah yang beredar ke dalam tubuh menyebabkan pertumbuhan anak terhambat. Aliran darah ke paru jugs bertambah yang menyebabkan anak Bering menderita infeksi saluran pernapasan. Pada DSV kecil pertumbuhan anak tidak terganggu; sedangkan pada DSV besar dapat terjadi gagal jantung dini yang memerlukan pengobatan medic yang intensif atau bahkan operasioperasi.

j. Patofisiologi
Adanya defek pada ventrikel, menyebabkan tekanan ventrikel kiri meningkat dan resistensi sirkulasi arteri sistemik lebih tinggi dibandingkan resistensi pulmonal. Hal ini akan mengakibatkan darah mengalir ke arteri pulmonal melalui defek septum. Volume darah di paru akan meningkat dan terjadi resistensi pembuluh darah paru. Dengan demikian tekanan di ventrikel kanan meningkat akibat adanya shunting dari kiri ke kanan. Ini akan risiko endokarditis, dan mengakibatkan terjadinya hipertropi otot ventrikel kanan sehingga akan berdampak pada peningkatan workload sehingga atrium kanan tidak dapat mengimbangi meningkatnya workload, terjadilah pembesaran atrium kanan untuk mengatasi resistensi yang disebabkan oleh pengosongan atrium yang tidak sempurna
k. Komplikasi
1) Endokarditis
2) Obstruksi pembuluh darah pulmonal
3) Syndrome Eisenmenger


l. Etiologi
Penyebab secara pasti tidak diketahui. Akan tetapi terdapat beberapa faktor predisposisi penyebab terjadinya VSD, yaitu: pada saat hamil Ibu menderita rubella, ibu hamil dengan alkoholik, usia ibu pada saat hamil lebih dari 40 tahun, ibu menderita IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus). Faktor genetik : Anak dengan Down Syndrome memiliki risiko terjadinya VSD.
m. Manifestasi Minis
Adanya tanda-tanda gagal jantung kanan : sesak, terdapat murmur, distensi vena jugularis, edema tungkai, hepatomegali
1) Diaphoresis
2) Tidak mau makan
3) Tachypnea
n. Pemeriksaan Diagnostik
1) Auskultasi jantung
2) Pantau tekanan darah
3) Foto rontgen
4) ECG
5) Echocardiogram
6) MRI
o. Penatalaksanaan Terapeutik
Pembedahan : menutup defek dengan dijahit melalui cardiopulmonary bypass
Non-pembedahan : menutup defek dengan alai melalui kateterisasi jantung



p. Pentalaksanaan- Perawatan
1) Pengkajian
Riwayat keperawatan : respon fisiologis terhadap defek (sianosis, aktivitas terbatas)
Kaji adanya tanda-tanda gagal jantung : nafas cepat, sesak nafas, retraksi, bunyi jantung tambahan (murmur), edema tungkai, hepatomegali,
Kaji adanya tanda hipoxia kronis : clubbing finger
Kaji pola makan, pola pertambahan berat badan
2) Diagnosa Keperawatan
Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan malformasi jantung.
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kongesti pulmonal
Tidak toleransi terhadap aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara pemakaian oksigen oleh tubuh dan suplai oksigen ke sel
Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan tidak adekuatnya suplai oksigen dan zat nutrisi ke jaringan
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelelahan pada saat makan dan meningkatnya kebutuhan kalori.
Risiko infeksi berhubungan dengan menurunnya status kesehatan.
Perubahan peran orang tua berhubungan dengan hospitalisasi anak, kekhawatiran terhadap penyakit anak
3) Perencanaan
Anak akan menunjukkan tanda-tanda membaiknya curah jantung
Anak akan menunjukkan tanda-tanda tidak adanya peningkatan resistensi pembuluh paru.
Anak akan mempertahankan tingkat aktivitas yang adekuat dan anak akan berpartisipasi dalam aktivitas yang dilakukan oleh mak seusianya.
Anak akan tumbuh sesuai dengan kurva pertumbuhan berat dan tinggi badan
Anak akan mempertahankan intake makanan dan minuman untuk mempertahankan berat badan dan menopang pertumbuhan.
Anak tidak akan menunjukkan tanda-tanda infeksi
Orang tua akan mengekpresikan perasaanya karena memiliki anak dengan kelainan jantung, mendiskusikan rencana pengobatan, dan memiliki keyakinan bahwa orang tua memiliki peranan penting dalam keberhasilan pengobatan.
q. Meningkatkan curah jantung
Observasi kualitas dan kekuatan denyut jantung, nadi perifer, warns dan kehangatan kulit.
Tegakkan derajat sianosis (sirkumoral, membran mukosa, clubbing).
Monitor tanda-tanda CHF (gelisah, takikardi, tachypnea, sesak, lelah saat minum susu, periorbital edema, oliguria, dan hepatomegali)
Berkolaborasi dalam pemberian digoxin sesuai order, dengan menggunakan teknik pencegahan bahaya toxisitas.
Berikan pengobatan untuk menurunkan afterload
Berikan diuretik sesuai indikasi.


r. Meningkatan resistensi pembuluh para.
Monitor kualitas dan irama pernafasan Atur posisi anak dengan posisi fowler Hindari anak dari orang yang terinfeksi
Berikan istirahat yang cukup
Berikan nutrisi yang optimal
Berikan oksigen jika ada indikasi
s. Mempertahankan tingkat aktivitas yang adekuat
Ijinkan anak untuk sering beristirahat, dan hindarkan gangguan pada saat tidur.
Anjurkan untuk melakukan permainan dan aktivitas ringan
Bantu anak untuk memilih aktivitas yang sesuai dengan usia, kondisi dan kemampuan anak.
Berikan periode istirahat setalah melakukan aktivitas
Hindarkan suhu lingkungan yang terlalu pangs atau dingin
Hindarkan hal-hal yang menyebabkan ketakutan/ kecemasan pada anak
t. Mempertahankan pertumbuhan berat badan yang sesuai
Sediakan diit yang seimbang, tinggi zat-zat nutrisi untuk mencapai pertumbuhan yang adekuat
Monitor tinggi dan berat badan, dokumentasikan dalam bentuk grafik untuk mengetahui kecendrungan pertumbuhan anak
u. Mempertahankan intake makanan dan minuman untuk mempertahankan berat badan dan menopang pertumbuhan.
Timbang berat badan setiap hari dengan timbangan yang sama, dan waktu yang sama
Catat intake dan output secara benar
Berikan makanan dengan porsi kecil tapi sering untuk menghindari kelelahan pada saat makan
4) Anak-anak yang mendapatkan diuretik biasanya sangat haul, oleh karma itu cairan tidak dibatasi.
a. Mencegah terjadinya infeksi
1) Hindari kontak dengan individu yang terinfeksi
2) Berikan istirahat yang adekuat
3) Berikan kebutuhan nutrisi yang optimal
b. Memberikan dukungan orang tua
Ajarkan orang tua untuk mengekspresikan perasaanya akibat memiliki anak dengan kelainan jantung, mendiskusikan rencana pengobatan, dan memiliki keyakinan bahwa orang tua memiliki peranan penting dalam keberhasilan pengobatan.
Eksplorasi perasaan orang tua mengenai perasaan ketakutan, rasa bersalah, berduka, dan perasaan tidak mampu.
Mengurangi ketakutan dan kecemasan orang tua dengan memberikan informasi yang jelas
Libatkan orang tua dalam perawatan anak selama di rumah sakit
Memberikan dorongan kepada keluarga untuk melibatkan anggota keluarga lain dalam perawatan anak.
6. Perencanaan Pemulangan
Kontrol sesuai waktu yang ditentukan
jelaskan aktivitas yang dapat dilakukan anak sesuai dengan usia dan kondisi penyakit
Mengajarkan keterampilan yang diperlukan di rumah, yaitu:
teknik pemberian obat
tehnik pemberian makanan
tindakan untuk mengatasi jika terjadi hal-hal yang mencemaskan
tanda-tanda komplikasi, siapa yang akan dihubungi jika membutuhkan pertolongan.

BAB III
PENUTUP
A. kesimpulan
Jantung
Jantung merupakan sebuah organ muskuler berongga yang terdiri dari otot-otot. Otot jantung merupakan jaringan istimewa karena jika dilihat dari bentuk dan susunannya sama dengan otot serat lintang, dan cara kerjanya dipengaruhi oleh susunan saraf otonom atau diluar kemauan kita.
a. Atrium Septal Defect (ASD)
Atrium Septal Defect (ASD) adalah penyakit jantung bawaan berupa lubang (defek) pada septum interatrial (sekat antar serambi) yang terjadi karena kegagalan fungsi septum interatrial semasa janin. Atrial Septal Defect (ASD) adalah suatu lubang pada dinding (septum) yang memisahkan jantung bagian atas (atrium kiri dan atrium kanan).
b. Definisi
Suatu keadaan abnormal yaitu adanya pembukaan antara ventrikel kiri dan ventrikel kanan.

B. Saran
Bagi pembaca di sarankan untuk memahami hal-hal yang berkaitan dengan jantung ASD/ VSD Sehingga dapat di lakukan upaya-upaya yang bermanfaat untuk menanganinya secara efektif dan efisien .
• Mahasiswa kesehatan sebaiknya memahami dan mnegetahui konsep. Atrium septum defek/ ventrikel septum defek dan askep nya guna unttuk mengaplikasikan dalam memberikan pelayanan kepada pasien
• Perawat memiliki pengetahuan tentang ASD/ VSD untuk dapat mempengaruhi orang tua dalam menjalani pengobatan untuk sehingga penyakit lebih berat dapat dihindari .
• Pelayanan keperawatan dapat memberikan anjuran kepada orang tua untuk melalukan terapi agar ASD/ VSD dapat teratasi

























DAFTAR PUSTAKA

Behrman et al. 1996. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15. (Alih bahasa oleh Samik Wahab tahun 2000). EGC. Jakarta.

Hidayat, A. Azis Alimul. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Salemba Medika. Jakarta.

Markum, A. H. 1991. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Volume 1. Gaya Baru. Jakarta.

Nursalam dkk. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan anak untuk Perawat dan Bidan. Salemba Medika. Jakarta.

Speer, Kathleen Morgan. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan pediatric dengan Clinical Pathways, Edisi Tiga. (Alih bahasa oleh Julianus Ake dan Renata Komalasari tahun 2008). EGC. Jakart


















DAFTAR ISI

Kata Pengantar i
Daftar Isi ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan Penulisan 1
C. Metode Penulisan 1
D. Ruang lingkup penulisan 2
E. Sistematika Penulisan 2

BAB II LANDASAN TEORITIS
A. Anatomi Fisiologi Kardiovaskuler 3
B. Konsep Dasar Penyakit 8

BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 36
B. Saran 36
DAFTAR PUSTAKA











KATA PENGANTAR

Assalamuallaikum.wr.wb
Alhamdulilah hirabbilalamin,dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT. Atas berkat rahmat dan hidayahNya maka kami dapat menyelesaikan makalah dengan lancar.
Terselesainya makalah ini berkat kerja sama dari berbagai pihak untuk itu kami ucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing Ibu Ns. Lintang Sari, S.Kep serta rekan–rekan yang memberikan masukan dan gagasan tentang makalah yang kami susun.
Kami menyadari bahwa makalah kami banyak terdapat kekurangan dan kesalahan baik dari sisi tulisan maupun sistem penulisan, maka dari itu kami mohon maaf dan mengucapkan terima kasih atas kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Semoga apa yang kami sajikan pada makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua.


Pontianak, Desember 2010

Penulis

askep apendisitis

APENDIKSITIS





DI SUSUN OLEH
M.IHSAN







PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM
PONTIANAK
2010-2011




BAB II
KONSEP DASAR
A. Anatomi dan fisiologi

Gambar 1
(sumber: Doengoes Marylinn E, 1993)
1. Anatomi Usus Besar
Gambar 1 anatomi usus besar Usus besar atau kolon yang panjangnya kira-kira satu setengah meter, adalah sambungan dari usus halus dan mulai di katup ileokolik atau ileoseka, yaitu tempat sisa makanan lewat, dimana normalnya katup ini tertutup dan akan terbuka untuk merespon gelombang peristaltik dan menyebabkan defekasi atau pembuangan. Usus besar terdiri atas empat lapisan dinding yang sama seperti usus halus. Serabut longitudinal pada dinding berotot tersusun dalam tiga jalur yang memberi rupa berkerut-kerut dan berlubang-lubang. Dinding mukosa lebih halus dari yang ada pada usus halus dan tidak memiliki vili. Didalamnya terdapat kelenjar serupa kelenjar tubuler dalam usus dan dilapisi oleh epitelium silinder yang memuat sela cangkir.
Usus besar terdiri dari :
a. Sekum
Sekum adalah kantung tertutup yang menggantung dibawah area katup ileosekal. Apendiks vermiformis merupakan suatu tabung buntu yang sempit, berisi jaringan limfoid, menonjol dari ujung sekum.

b. Kolon
Kolon adalah bagian usus besar, mulia dari sekum sampai rektum. Kolon memiliki tiga bagian, yaitu :
1) Kolon asenden
Merentang dari sekum sampai ke tepi bawah hatti sebelah kanan dan membalik secara horizontal pada fleksura hepatika.
2) Kolon transversum
Merentang menyilang abdomen dibawah hati dan lambung sampai ke tepi lateral ginjal kiri, tempatnya memutar kebawah pada flkesura splenik.
3) Kolon desenden
Merentang ke bawah pada sisi kiri abdomen dan menjadi kolon sigmoid berbentuk S yang bermuara di rektum.
c. Rektum
Rektum Adalah bagian saluran pencernaan selanjutnya dengan panjang 12 sampai 13 cm. Rektum berakhir pada saluran anal dan membuka ke eksterior di anus.
2.Anatomi Apendiks

Gambar 2
Usus buntu atau appendix adalah organ yang letaknya disisi posteromedial dari sekum (bagian dari usus besar), kurang lebih 2,5 cm dibawah katup ileosekum. Panjangnya bervariasi, rata-rata 5-10 cm. Karena posisi-nya yang bervariasi, jika usus buntu mengalami peradangan (selanjutnya disebut apendisitis) sering mengakibatkan keluhan yang berbeda-beda. Dan karena posisinya berdekatan dengan banyak organ, jika terjadi apendisitis sering menampakkan gejala yang mirip dengan peradangan pada organ sekitarnya. Infeksi saluran kencing, batu pada saluran kencing, radang pada organ reproduksi wanita adalah salah satu dari kasus yang gejalanya hampir mirip dengan apendisitis. Pemeriksaan fisik yang baik dan atau disertai dengan pemeriksaan penunjang dapat menetapkan diagnosa apendisitis dengan baik.
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (4 inci), lebar 0,3 - 0,7 cm dan isi 0,1 cc melekat pada sekum tepat dibawah katup ileosekal. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu : taenia anterior, medial dan posterior. Secara klinis, apendiks terletak pada daerah Mc.Burney yaitu daerah 1/3 tengah garis yang menghubungkan spina iliaka anterior superior kanan dengan pusat. Lumennya sempit dibagian proksimal dan melebar dibagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Persarafan parasimpatis pada apendiks berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesentrika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula disekitar umbilikus.
2. Fisiologi Apendiks
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Lendir dalam apendiks bersifat basa mengandung amilase dan musin. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk apendiks ialah IgA. Immunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfa disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya disaluran cerna dan diseluruh tubuh. Apendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur kedalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya cenderung kecil, maka apendiks cenderung menjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi ( Sjamsuhidayat, 2005: 1704).

B. Pengertian
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000:1170 ).
Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat. Jadi, dapat disimpulkan apendisitis adalah kondisi dimana terjadi infeksi pada umbai apendiks dan merupakan penyakit bedah abdomen yang paling sering terjadi. (Smeltzer C. Suzanne, 2001:1907)

C. Klasifikasi
Apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis kronik (Sjamsuhidayat, 2005: 1706).
1. Apendisitis akut.
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut talah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat


2. Apendisitis kronik.
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya: riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa , dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.

D.Etiologi dan Predisposisi
Apendisitis akut merupakan merupakan infeksi bakteria. Berbagai berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini mempermudah timbulnya apendisitis akut. (Sjamsuhidayat, 2005:107).
E. Manifestasi Klinik
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat. nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. Pada apendiks yang terinflamasi, nyeri tekan dapat dirasakan pada kuadran kanan bawah pada titik Mc.Burney yang berada antara umbilikus dan spinalis iliaka superior anterior. Derajat nyeri tekan, spasme otot dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar dibelakang sekum, nyeri dan nyeri tekan terasa didaerah lumbal. Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rektal. nyeri pada defekasi menunjukkan ujung apendiks berada dekat rektum. nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan dapat terjadi. Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi menyebar. Distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi pasien memburuk. Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi. Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus atau proses penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami ruptur apendiks. Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi pada lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda (Smeltzer C. Suzanne, 2002:1790).
F. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mucus tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2000:129).





















PATHWAY APENDIKS





























G. Penatalaksanaan
Bila diagnosis sudah pasti, maka terapi yang paling tepat dengan tindakan operatif. Ada dua teknik operasi yang biasa digunakan :
Operasi terbuka : satu sayatan akan dibuat ( sekitar 5 cm ) dibagian bawah kanan perut. Sayatan akan lebih besar jika apendisitis sudah mengalami perforasi.
Laparoskopi : sayatan dibuat sekitar dua sampai empat buah. Satu didekat pusar, yang lainnya diseputar perut. Laparoskopi berbentuk seperti benang halus denagn kamera yang akan dimasukkan melalui sayatan tersebut. Kamera akan merekam bagian dalam perut kemudian ditampakkan pada monitor. Gambaran yang dihasilkan akan membantu jalannya operasi dan peralatan yang diperlukan untuk operasi akan dimasukkan melalui sayatan di tempat lain. Pengangkatan apendiks, pembuluh darah, dan bagian dari apendiks yang mengarah ke usus besar akan diikat.
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi aktivitas fisik sampai pembedahan dilakukan ( akhyar yayan,2008 ). Analgetik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi.
Pembedahan:
Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum umum atau spinal, secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak (Smeltzer C. Suzanne, 2002).
1. Persiapan umum operasi
Hal yang bisa dilakukan oleh perawat ketika klien masuk ruang perawat sebelum operasi :
a. Memperkenalkan klien dan kerabat dekatnya tentang fasilitas rumah sakit untuk mengurangi rasa cemas klien dan kerabatnya (orientasi lingkungan).
b. Mengukur tanda-tanda vital.
c. Mengukur berat badan dan tinggi badan.
d. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium yang penting (Ht, Serum Glukosa, Urinalisa).
e. Wawancara.
2. Persiapan klien malam sebelum operasi
Empat hal yang perlu diperhatikan pada malam hari sebelum operasi :
a. Persiapan kulit
kulit merupakan pertahanan pertama terhadap masuknya bibit penyakit. Karena operasi merusak integritas kulit maka akan menyebabkan resiko terjadinya ifeksi.
Beberapa ahli bedah lebih menyukai mencukur rambut karena bisa mengganggu prosedur operasi.
b. Persiapan saluran cerna
persiapan kasus yang dilakukan pada saluran cerna berguna untuk :
1. Mengurangi kemungkinan bentuk dan aspirasi selama anestasi.
2. Mengurangi kemungkinan obstruksi usus.
3. Mencegah infeksi faeses saat operasi.
Untuk mencegah tiga hal tersebut dilakukan :
1. Puasa dan pembatasan makan dan minum.
2. Pemberian enema jika perlu.
3. Memasang tube intestine atau gaster jika perlu.
4. Jika klien menerimaanastesi umum tidak boleh makan dan minum selama 8 - 10 jam sebelum operasi : mencegah aspirasi gaster. Selang gastro intestinal diberikan malam sebelum atau pagi sebelum operasi untuk mengeluarkan cairan intestinal atau gester.
c. Persiapan untuk anastesi
Ahli anastesi selalu berkunjunng pada pasien pada malam sebelum operasi untuk melekukan pemeriksaan lengkap kardiovaskuler dan neurologis. Hal ini akan menunjukkan tipe anastesi yang akan digunakan selama operasi.
d. Meningkatkan istirahat dan tidur
Klien pre operasi akan istirahat cukup sebelum operasi bila tidak ada gangguan fisik, tenaga mentalnya dan diberi sedasi yang cukup.
H. Komplikasi
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,70C atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer C.Suzanne, 2002:1079).

I. Pemeriksaan Diagnostik
Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%. Sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta pelebaran sekum.

J. Pengkajian Fokus .smeltzer:2001
Dalam melakukan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama dan hal yang penting di lakukan baik saat pasien pertama kali masuk rumah sakit maupun selama pasien dirawat di rumah sakit.
1. Biodata
Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/ bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat dan nomor register.
2. Lingkungan
Dengan adanya lingkungan yang bersih, maka daya tahan tubuh penderita akan lebih baik daripada tinggal di lingkungan yang kotor.
3. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Nyeri pada daerah kuadran kanan bawah, nyeri sekitar umbilikus.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat operasi sebelumnya pada kolon.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama keluhan terjadi, bagaimana sifat dan hebatnya keluhan, dimana keluhan timbul, keadaan apa yang memperberat dan memperingan.
4. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi abdomen.
b. Palpasi
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah, ini disebut tanda Rovsing (Rovsing sign). Dan apabila tekanan pada perut kiri dilepas maka juga akan terasa sakit di perut kanan bawah, ini disebut tanda Blumberg (Blumberg sign).
c. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk menentukkan letak apendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang di daerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis apendisitis pelvika.
d. Uji psoas dan uji obturator
Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas mayor lewat hiperekstensi sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menempel pada m.psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan andorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika

5. Perubahan pola fungsi
Data yang diperoleh dalam kasus apendisitis menurut Doenges (2000:107) adalah sebagai berikut :
b. Aktivitas / istirahat
Gejala : Malaise.
c. Sirkulasi
Tanda : Takikardi.
d. Eliminasi
Gejala : Konstipasi pada awitan awal.
Diare (kadang-kadang).
Tanda : Distensi abdomen, nyeri tekan/ nyeri lepas, kekakuan.
: Penurunan atau tidak ada bising usus.
e. Makanan / cairan
Gejala : Anoreksia.
Mual/muntah.
f. Nyeri / kenyamanan
Gejala : Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilikus yang
meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc.Burney
(setengah jarak antara umbilikus dan tulang ileum kanan),
meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam
(nyeri berhenti tiba-tiba diduga perforasi atau infark pada apendiks).
Keluhan berbagai rasa nyeri/ gejala tak jelas (berhubungan dengan lokasi apendiks, contoh : retrosekal atau sebelah ureter).
Tanda : Perilaku berhati-hati ; berbaring ke samping atau telentang
dengan lutut ditekuk. Meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/ posisi duduk tegak. : Nyeri lepas pada sisi kiri diduga inflamasi peritoneal.

g. Pernapasan
Tanda : Takipnea, pernapasan dangkal.
h. Keamanan
Tanda : Demam (biasanya rendah)
K. Diagnosa Keperawatan
a. Pre operasi
1. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan muntah pre operasi.
2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan distensi jaringan usus oleh inflamasi.
3. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
b. Post operasi
1. nyeri berhubungan dengan adanya luka post operasi apendektomi.
2. perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berkurang berhubungan dengan anorexia, mual.
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi bedah. Kurang pengetahuan tentang perawatan dan penyakit berhubungan dengan kurang informasi.
L. Intervensi Keperawatan
1. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama, perforasi/ ruptur pada apendiks, pembentukan abses ; prosedur invasif insisi bedah.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan infeksi berkurang.
KH : Meningkatnya penyembuhan luka dengan benar, bebas tanda infeksi/ inflamasi, drainase purulen, eritema dan demam.
Intervensi :
a. Awasi tanda vital. Perhatikan demam, menggigil, berkeringat, perubahan mental, meningkatnya nyeri abdomen.
Rasional : Dugaan adanya infeksi/ terjadinya sepsis, abses, peritonitis.
b. Lihat insisi dan balutan. Catat karakteristik drainase luka/ drein (bila dimasukkan), adanya eritema.
Rasional : Memberikan deteksi dini terjadinya proses infeksi, dan/ atau
pengawasan penyembuhan peritonitis yang telah ada
sebelumnya.
c. Lakukan pencucian tangan yang baik dan perawatan luka aseptik. Berikan perawatan paripurna.
Rasional : Menurunkan resiko penyebaran infeksi.
d. Berikan informasi yang tepat, jujur, dan jelas pada pasien/ orang terdekat.
Rasional : Pengetahuan tentang kemajuan situasi memberikan dukungan emosi, membantu menurunkan ansietas.
e. Ambil contoh drainase bila diindikasikan.
Rasional : Kultur pewarnaan Gram dan sensitivitas berguna untuk mengidentifikasikan organisme penyebab dan pilihan terapi.
f. Bantu irigasi dan drainase bila diindikasikan.
Rasional : Dapat diperlukan untuk mengalirkan isi abses terlokalisir.
g. Berikan antibiotik sesuai indikasi.
Rasional : Mungkin diberikan secara profilaktik atau menurunkan jumlah mikroorganisme (pada infeksi yang telah ada sebelumnya) untuk menurunkan penyebaran dan pertumbuhannya pada rongga abdomen.
2. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan pengeluaran cairan berlebih, pembatasan pascaoperasi, status hipermetabolik, inflamasi peritonium dengan cairan asing.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keseimbangan cairan dan elektrolit menjadi kuat.
KH : kelembaban membran mukosa, turgor kulit baik, tanda vital stabil TD: 120/80 mmHg ; N: 80 RR; 18 x/menit; S: 36,50 C dan secara individual haluaran urine adekuat.

Intervensi :
a. Awasi TD dan nadi.
Rasional : Tanda yang membantu mengidentifikasi fluktuasi volume intravaskuler.
b. Lihat membran mukosa : kaji turgor kulit dan pengisian kapiler.
Rasional : Indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler.
c. Awasi masukan dan haluaran : catat catat warna urine/ konsentrasi, berat jenis.
Rasional : Penurunan haluaran urine pekat dengan peningkatan berat jenis diduga dehidrasi/ kebutuhan peningkatan cairan.
d. Auskultasi bising usus. Catat kelancaran flatus, gerakan usus.
Rasional : Indikator kembalinya peristaltik, kesiapan untuk pemasukkan oral.
e. Berikan sejumlah kecil minuman jernih bila pemasukkan peroral dimulai, dan lanjutkan dengan diet sesuai toleransi.
Rasional : Menurunkan iritasi gaster/ muntah untuk meminimalkan kehilangan cairan.
f. Berikan perawatan mulut sering dengan perhatian khusus pada perlindung bibir.
Rasional : Dehidrasi mengakibatkan bibir dan mulut kering dan pecahpecah.
g. Pertahankan penghisapan gaster/ usus.
Rasional : Selang NG biasanya dimasukkan pada praoperasi dan dipertahankan pada fase segera pascaoperasi untuk dekompresi usus, meningkatkan istirahat usus, mencegah muntah.
h. Berikan cairan IV dan elektrolit.
Rasional : Peritonium bereaksi terhadap iritasi/ infeksi dengan menghasilkan sejumlah besar cairan yang dapat menurunkan volume sirkulasi darah, mengakibatkan hipovolemia. Dehidrasi dan dapat terjadi ketidakseimbangan elektrolit.

3. nyeri (akut) berhubungan dengan distensi jaringan usus oleh inflamasi ; adanya insisi bedah.
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang.
KH : Klien melaporkan nyeri berkurang/ hilang, klien rileks, mampu istirahat/ tidur dengan tepat skala nyeri 1-3.
Intervensi :
a. Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya (skala 0-10). Selidiki dan laporkan perubahan nyeri dengan tepat.
Rasional : Berguna dalam pengawasan keefektifan obat, kemajuan penyembuhan. Perubahan pada karakteristik nyeri menunjukkan terjadinya abses/ peritonitis, memerlukan upaya evaluasi medik dan intervensi.
b. Pertahankan istirahat dengan posisi semifowler.
Rasional : Gravitasi melokalisasi eksudat inflamasi dalam abdomen bawah atau pelvis, menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah dengan posisi telentang.
c. Dorong dan ajarkan ambulasi dini.
Rasional : Meningkatkan normalisasi fungsi organ, contoh : merangsang peristaltik dan kelancaran flatus, menurunkan ketidaknyamanan abdomen.
d. Berikan aktivitas hiburan.
Rasional : Fokus perhatian kembali, meningkatkan relaksasi, dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
e. Pertahankan puasa/ penghisapan NG pada awal.
Rasional : Menurunkan ketidaknyamanan pada peristaltik usus dini dan iritasi gaster/ muntah.
f. Berikan kantong es pada abdomen.
Rasional : Menghilangkan dan mengurangi nyeri melalui penghilangan rasa ujung saraf. Catatan : jangan lakukan kompres panas karena dapat menyebabkan kompresi jaringan.
g. Berikan analgesik sesuai indikasi.
Rasional : Menghilangkan nyeri mempermudah kerjasama dengan intervensi terapi lain seperti ambulasi, batuk.

4. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi dan salah interpretasi informasi.
Tujuan : Menyatakan pemahaman proses penyakit, pengobatan dan potensial komplikasi.
KH : Berpartisipasi dalam program pengobatan.
Intervensi :
a. Kaji ulang pembatasan aktivitas pascaoperasi, contoh : mengangkat berat, olahraga, seks, latihan, menyetir.
Rasional : Memberikan informasi pada pasien untuk merencanakan kembali rutinitas biasa tanpa menimbulkan masalah.
b. Identifikasi gejala yang memerlukan evaluasi medik, contoh : peningkatan nyeri, edema/ eritema luka, adanya drainase, demam.
Rasional : Upaya intervensi menurunkan resiko komplikasi serius, contohnya : peritonitis, lambatnya proses penyembuhan.
c. Dorong aktivitas sesuai toleransi dengan periode istirahat periodik.
Rasional : Mencegah kelemahan, meningkatkan penyembuhan dan perasaan sehat, mempermudah kembali ke aktivitas normal.
d. Diskusikan perawatan insisi termasuk mengganti balutan, pembatasan mandi dan kembali ke dokter untuk mengangkat jahitan/ pengikat.
Rasional : Pemahaman maningkatkannkerjasama dengan program terapi, meningkatkan penyembuhan dan proses perbaikan.
e. Berikan laksatif/ pelembek feses jika diindikasikan dan hindari enema.
Rasional : Membantu kembali ke fungsi usus semula, mencegah mengejan saat defekasi. (Doenges, 2000).



BAB III
PENUTUP
A. kesimpulan
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000:1170 ).
Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat. Jadi, dapat disimpulkan apendisitis adalah kondisi dimana terjadi infeksi pada umbai apendiks dan merupakan penyakit bedah abdomen yang paling sering terjadi. (Smeltzer C. Suzanne, 2001.:1907)

B. Saran
Bagi pembaca di sarankan untuk memahami hal-hal yang berkaitan dengan apendisitis Sehingga dapat di lakukan upaya-upaya yang bermanfaat untuk menanganinya secara efektif dan efisien .
• Mahasiswa kesehatan sebaiknya memahami dan mnegetahui konsep. apendisitis dan askep nya guna unttuk mengaplikasikan dalam memberikan pelayanan kepada pasien
• Perawat memiliki pengetahuan tentang apendisitis untuk dapat mempengaruhi orang tua dalam menjalani pengobatan untuk sehingga penyakit lebih berat dapat dihindari .
• Pelayanan keperawatan dapat memberikan anjuran kepada orang tua untuk melalukan terapi agar apendisitis dapat teratasi

DAFTAR PUSTAKA


Doenges, Marilynn E. (1993). Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC
Mansjoer Arif.(2000). Diagnose keperawatan . Jakarta: EGC
Smeltzer, Bare (1997). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddart Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Volume 2. Jakarta: EGC